Senin, 11 Januari 2016

Puisi Saya, Dimuat di Koran IndoPos Edisi Sabtu, 9 Januari 2016

/1/
Lagu Musim Kemarau

Selalu ada yang kian muram dan senyap
di ujung musim kemarau yang lelap.
Hari-hari pun meranggas dalam dekapan cuaca.
Bertiup angin musim tenggara.

Kembali daun-daun menjatuhkan diri ke beranda.
Kembali langit mengekalkan bayangmu di luar jendela.
Dahan-dahan patah dengan tubuh yang terkelupas
rebah di tanah memendam rindu yang tak pernah tuntas.

Lihatlah akar pohonan yang tabah menghitung sepi dan luka,
menanti isyarat awan yang tak kunjung tiba.
Lihatlah ada yang senantiasa tugur di antara gugur kata-kata,
diam-diam mendekap namamu di jantung doa.

Tj. Priok, 24 September 2015




/2/
September

Tiba saat musim merebahkan diri
di pangkal September,
bersama kemarau yang tak kunjung pergi,
bersama bayangmu yang sayup dan sepi.

Langit yang lengang telah tergelar sempurna.
Impian yang asing telah meruap ke puncak cuaca.
Di bentangan rindu, namamu menggema sebagai doa,
bait-bait rahasia yang kutanam di rahim kata.

Lihatlah musim yang membisu indah di ambang senja.
Nyanyi sunyi yang merambat pada warna pepohon tua.
Ke ceruk angkasa, kukembalikan seikat kisah dan luka.
Meniti kembali nasib hingga dekapan takdir tiba.

Tj. Priok, 14 September 2015.


/3/
Sepasang Mata yang Temaram

Di lengkung hari terbenam
rindu adalah sepasang mata yang temaram.
Laut-laut tua di kejauhan
melambai mengundang beribu kesepian.

Segera maghrib menjelma bayang-bayang,
Melintas kawanan burung beranjak pulang.
Lantas ke manakah aku harus pulang
selepas terhempas di rembang gelombang?

Jauh di bentang utara impian-impian berlayar.
Resah yang ganjil merusuh di debar lautan.
Tak kutahu akhir dari perjalanan yang samar.
Hanya doa, tempat segala rahasia kuserahkan.


Tj. Priok, 11 Februari-25 Desember 2015 

Puisi Saya, Dimuat di Koran IndoPos Edisi Sabtu, 9 Januari 2016

/1/
Lagu Musim Kemarau

Selalu ada yang kian muram dan senyap
di ujung musim kemarau yang lelap.
Hari-hari pun meranggas dalam dekapan cuaca.
Bertiup angin musim tenggara.

Kembali daun-daun menjatuhkan diri ke beranda.
Kembali langit mengekalkan bayangmu di luar jendela.
Dahan-dahan patah dengan tubuh yang terkelupas
rebah di tanah memendam rindu yang tak pernah tuntas.

Lihatlah akar pohonan yang tabah menghitung sepi dan luka,
menanti isyarat awan yang tak kunjung tiba.
Lihatlah ada yang senantiasa tugur di antara gugur kata-kata,
diam-diam mendekap namamu di jantung doa.

Tj. Priok, 24 September 2015




/2/
September

Tiba saat musim merebahkan diri
di pangkal September,
bersama kemarau yang tak kunjung pergi,
bersama bayangmu yang sayup dan sepi.

Langit yang lengang telah tergelar sempurna.
Impian yang asing telah meruap ke puncak cuaca.
Di bentangan rindu, namamu menggema sebagai doa,
bait-bait rahasia yang kutanam di rahim kata.

Lihatlah musim yang membisu indah di ambang senja.
Nyanyi sunyi yang merambat pada warna pepohon tua.
Ke ceruk angkasa, kukembalikan seikat kisah dan luka.
Meniti kembali nasib hingga dekapan takdir tiba.

Tj. Priok, 14 September 2015.


/3/
Sepasang Mata yang Temaram

Di lengkung hari terbenam
rindu adalah sepasang mata yang temaram.
Laut-laut tua di kejauhan
melambai mengundang beribu kesepian.

Segera maghrib menjelma bayang-bayang,
Melintas kawanan burung beranjak pulang.
Lantas ke manakah aku harus pulang
selepas terhempas di rembang gelombang?

Jauh di bentang utara impian-impian berlayar.
Resah yang ganjil merusuh di debar lautan.
Tak kutahu akhir dari perjalanan yang samar.
Hanya doa, tempat segala rahasia kuserahkan.


Tj. Priok, 11 Februari-25 Desember 2015