/1/
Lagu Musim
Kemarau
Selalu ada yang kian muram dan senyap
di ujung musim kemarau yang lelap.
Hari-hari pun meranggas dalam dekapan cuaca.
Bertiup angin musim tenggara.
Kembali daun-daun menjatuhkan diri ke beranda.
Kembali langit mengekalkan bayangmu di luar jendela.
Dahan-dahan patah dengan tubuh yang terkelupas
rebah di tanah memendam rindu yang tak pernah
tuntas.
Lihatlah akar pohonan yang tabah menghitung sepi dan
luka,
menanti isyarat awan yang tak kunjung tiba.
Lihatlah ada yang senantiasa tugur di antara gugur
kata-kata,
diam-diam mendekap namamu di jantung doa.
Tj. Priok, 24 September 2015
/2/
September
Tiba
saat musim merebahkan diri
di
pangkal September,
bersama
kemarau yang tak kunjung pergi,
bersama
bayangmu yang sayup dan sepi.
Langit
yang lengang telah tergelar sempurna.
Impian
yang asing telah meruap ke puncak cuaca.
Di
bentangan rindu, namamu menggema sebagai doa,
bait-bait
rahasia yang kutanam di rahim kata.
Lihatlah
musim yang membisu indah di ambang senja.
Nyanyi
sunyi yang merambat pada warna pepohon tua.
Ke
ceruk angkasa, kukembalikan seikat kisah dan luka.
Meniti
kembali nasib hingga dekapan takdir tiba.
Tj.
Priok, 14 September 2015.
/3/
Sepasang Mata
yang Temaram
Di
lengkung hari terbenam
rindu
adalah sepasang mata yang temaram.
Laut-laut
tua di kejauhan
melambai
mengundang beribu kesepian.
Segera
maghrib menjelma bayang-bayang,
Melintas
kawanan burung beranjak pulang.
Lantas
ke manakah aku harus pulang
selepas
terhempas di rembang gelombang?
Jauh
di bentang utara impian-impian berlayar.
Resah
yang ganjil merusuh di debar lautan.
Tak
kutahu akhir dari perjalanan yang samar.
Hanya
doa, tempat segala rahasia kuserahkan.
Tj.
Priok, 11 Februari-25 Desember 2015