“Setiap kali kepala seorang sastrawan dipenggal,
kebenaran dalam sastra itu akan menitis ke kepala seribu sastrawan lain.” (Seno
Gumira Ajidarma)
“Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa.” (Wiji
Thukul)
Wiji
Thukul adalah sosok yang menarik dalam
sejarah kesusastraan maupun perpolitikan di Indonesia. Sebagai seorang penyair,
ia mungkin bukan yang paling cemerlang dalam dunia perpuisian di negeri ini.
Akan tetapi sejarah telah mencatat namanya, sebagai seorang penyair sekaligus
aktivis yang ikut berjuang melawan tindak kesewenang-wenangan sebuah rezim yang
pernah berkuasa di negeri ini.
Puisi-puisinya berkarakter khas:
lugas, berani, dan mudah dipahami. Alih-alih berbicara tentang keindahan atau
romantisme, puisi-puisi Wiji Thukul justru berbicara tentang kehidupan rakyat
kecil, kemiskinan, perlawanan terhadap penindasan, dan persoalan hidup
sehari-hari yang mungkin kerap luput dari pandangan kita.
Wiji
Thukul memang
berasal dari keluarga rakyat kecil yang hidupnya lekat dengan kemiskinan. Ia
tumbuh di Kampung
Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala buruhnya.
Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya
pedagang barang rongsokan. Sementara Thukul
sendiri pernah bekerja sebagai pelitur mebel.[1] Rupanya pengalaman
hidup Thukul yang lekat dengan kemiskinan dan masyarakat lapisan bawah inilah yang lambat-laun
mengendap dalam dirinya,
dan kemudian ia tuangkan
ke dalam puisi-puisinya.
Thukul
muda tumbuh di tengah kekuasaan sebuah rezim bernama Orde Baru. Sebuah rezim
otoriter, yang mana pada masanya kebebasan berpendapat menjadi suatu hal yang
sangat mahal. Demokrasi dibungkam, sementara
praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merajalela di mana-mana. Kondisi
negeri yang memperihatinkan ini bahkan juga diikuti oleh tindak kekerasan yang
kerap dilakukan oleh militer terhadap rakyat sipil. Mari kita ingat kembali tragedi
Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, dan kasus Marsinah. Kondisi sosial negara
seperti inilah yang menumbuhkan benih kesadaran dalam diri Thukul untuk melawan
segala bentuk tindak kesewenangan itu. Kesadaran
yang kemudian juga diikuti dengan lahirnya sejumlah puisi Thukul yang memotret tentang
kemiskinan, penindasan, ekploitasi buruh di pabrik, ketidakadilan hukum,
tindakan represif penguasa, dan kekerasan militer terhadap rakyat sipil.
Wiji
Thukul tidak sekedar berjuang melalui kata-kata. Bersama kelompok seninya, ia
juga kerap menggelar pementasan teater yang mengekspresikan penindasaan dan
problem riil masyarakat. Intensitas keterlibatannya dalam berbagai aksi protes
juga semakin tinggi. Represi pun mulai meningkat. Tak jarang pentas-pentas
teaternya dibubarkan oleh aparat. Rumahnya beberapa kali digeledah. Bahkan,
dalam sebuah aksi protes buruh P.T. Sritex di Solo pada tahun 1995, ia
mengalami siksaan berat dari aparat sampai telinganya nyaris tuli dan matanya
sempat dioperasi.[2]
Kala itu aparat mengincar Thukul karena ia diduga sebagai dalang demonstrasi
tersebut. Segala bentuk tindakan represi yang Thukul terima itu ternyata tidak
membuat semangat perlawanannya menjadi surut. Sebaliknya, itu semua justru membuat
keyakinannya semakin kuat untuk melawan segala tindak kesewenangan yang telah ia saksikan dan alami sendiri.
Melalui
aksi protes dan puisi-puisinya, Wiji Thukul telah memilih jalan hidupnya
sendiri, yakni berjuang melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh penguasa
Orde Baru terhadap rakyatnya. Sebuah pilihan yang akhirnya membuat ia
mendapatkan cap sebagai musuh penguasa dan dianggap sebagai pemberontak. Tentu
ini sebuah pilihan yang tak mudah, yang juga harus dibayar mahal olehnya. Ia
lantas menjadi korban praktik penghilangan orang. Bersama dengan sejumlah
aktivis lainnya, ia menjadi korban penculikan pada tahun 1998 yang dilakukan
oleh rezim kala itu.
Wiji
Thukul sendiri sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, entah masih hidup
atau tidak. Jika dikatakan sudah meninggal, sampai sekarang jasadnya pun belum
diketemukan. Ia dilaporkan hilang oleh istrinya, Sipon, setelah tragedi krisis 1998.
Banyak kerabat Thukul yang yakin, bahwa Thukul sudah dilenyapkan oleh rezim
Orde Baru, yang kadung mencapnya sebagai seorang musuh yang dianggap hendak
menjatuhkan penguasa.
Akhirnya,
keberadaan Wiji Thukul hingga saat ini terus menjadi misteri yang tak
terungkapkan. Usaha pemerintah untuk mengungkap kasus yang melibatkan Thukul
sebagai korban itu pun tak jua dilakukan. Thukul hilang meninggalkan
istrinya, Sipon dan dua orang anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah.
“Setiap
kali kepala seorang sastrawan dipenggal, kebenaran dalam sastra itu akan
menitis ke kepala seribu sastrawan lain," begitu ujar Seno Gumira Ajidarma
dalam kumpulan esainya, Ketika Jurnalisme
Dibungkam Sastra Harus Bicara. Barangkali hal yang demikian ini terjadi
pada diri Wiji Thukul. Jasad Thukul boleh dilenyapkan, akan tetapi karya dan
semangat perlawanannya terus hidup hingga saat ini. Ia terus menitis ke kepala
setiap orang yang mengkhidmati puisi-puisinya dan meresapi perjuangannya.
Dengan kata lain, Wiji Thukul terus tumbuh dan tetap utuh, seperti yang pernah ia katakan
dalam sebuah puisinya: “Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa!"
Tanjung Priok, 1 Juli 2017
Dimas Albiyan
Tanjung Priok, 1 Juli 2017
Dimas Albiyan