Minggu, 02 Juli 2017

Wiji Thukul dan Kata-kata yang Tak Kunjung Binasa

“Setiap kali kepala seorang sastrawan dipenggal, kebenaran dalam sastra itu akan menitis ke kepala seribu sastrawan lain.” (Seno Gumira Ajidarma)
“Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa.” (Wiji Thukul)

      Wiji Thukul adalah sosok yang menarik dalam sejarah kesusastraan maupun perpolitikan di Indonesia. Sebagai seorang penyair, ia mungkin bukan yang paling cemerlang dalam dunia perpuisian di negeri ini. Akan tetapi sejarah telah mencatat namanya, sebagai seorang penyair sekaligus aktivis yang ikut berjuang melawan tindak kesewenang-wenangan sebuah rezim yang pernah berkuasa di negeri ini.
    Puisi-puisinya berkarakter khas: lugas, berani, dan mudah dipahami. Alih-alih berbicara tentang keindahan atau romantisme, puisi-puisi Wiji Thukul justru berbicara tentang kehidupan rakyat kecil, kemiskinan, perlawanan terhadap penindasan, dan persoalan hidup sehari-hari yang mungkin kerap luput dari pandangan kita.  
Wiji Thukul memang berasal dari keluarga rakyat kecil yang hidupnya lekat dengan kemiskinan. Ia tumbuh di Kampung Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang rongsokan. Sementara Thukul sendiri pernah bekerja sebagai pelitur mebel.[1] Rupanya pengalaman hidup Thukul yang lekat dengan kemiskinan dan masyarakat lapisan bawah inilah yang lambat-laun mengendap dalam dirinya, dan kemudian ia tuangkan ke dalam puisi-puisinya.
Thukul muda tumbuh di tengah kekuasaan sebuah rezim bernama Orde Baru. Sebuah rezim otoriter, yang mana pada masanya kebebasan berpendapat menjadi suatu hal yang sangat mahal.  Demokrasi dibungkam, sementara praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merajalela di mana-mana. Kondisi negeri yang memperihatinkan ini bahkan juga diikuti oleh tindak kekerasan yang kerap dilakukan oleh militer terhadap rakyat sipil. Mari kita ingat kembali tragedi Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, dan kasus Marsinah. Kondisi sosial negara seperti inilah yang menumbuhkan benih kesadaran dalam diri Thukul untuk melawan segala bentuk tindak kesewenangan itu.  Kesadaran yang kemudian juga diikuti dengan lahirnya sejumlah puisi Thukul yang memotret tentang kemiskinan, penindasan, ekploitasi buruh di pabrik, ketidakadilan hukum, tindakan represif penguasa, dan kekerasan militer terhadap rakyat sipil.
Wiji Thukul tidak sekedar berjuang melalui kata-kata. Bersama kelompok seninya, ia juga kerap menggelar pementasan teater yang mengekspresikan penindasaan dan problem riil masyarakat. Intensitas keterlibatannya dalam berbagai aksi protes juga semakin tinggi. Represi pun mulai meningkat. Tak jarang pentas-pentas teaternya dibubarkan oleh aparat. Rumahnya beberapa kali digeledah. Bahkan, dalam sebuah aksi protes buruh P.T. Sritex di Solo pada tahun 1995, ia mengalami siksaan berat dari aparat sampai telinganya nyaris tuli dan matanya sempat dioperasi.[2] Kala itu aparat mengincar Thukul karena ia diduga sebagai dalang demonstrasi tersebut. Segala bentuk tindakan represi yang Thukul terima itu ternyata tidak membuat semangat perlawanannya menjadi surut. Sebaliknya, itu semua justru membuat keyakinannya semakin kuat untuk melawan segala tindak kesewenangan yang telah ia saksikan dan alami sendiri.
Melalui aksi protes dan puisi-puisinya, Wiji Thukul telah memilih jalan hidupnya sendiri, yakni berjuang melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap rakyatnya. Sebuah pilihan yang akhirnya membuat ia mendapatkan cap sebagai musuh penguasa dan dianggap sebagai pemberontak. Tentu ini sebuah pilihan yang tak mudah, yang juga harus dibayar mahal olehnya. Ia lantas menjadi korban praktik penghilangan orang. Bersama dengan sejumlah aktivis lainnya, ia menjadi korban penculikan pada tahun 1998 yang dilakukan oleh rezim kala itu.
Wiji Thukul sendiri sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, entah masih hidup atau tidak. Jika dikatakan sudah meninggal, sampai sekarang jasadnya pun belum diketemukan. Ia dilaporkan hilang oleh istrinya, Sipon, setelah tragedi krisis 1998. Banyak kerabat Thukul yang yakin, bahwa Thukul sudah dilenyapkan oleh rezim Orde Baru, yang kadung mencapnya sebagai seorang musuh yang dianggap hendak menjatuhkan penguasa.
Akhirnya, keberadaan Wiji Thukul hingga saat ini terus menjadi misteri yang tak terungkapkan. Usaha pemerintah untuk mengungkap kasus yang melibatkan Thukul sebagai korban itu pun tak jua dilakukan. Thukul hilang meninggalkan istrinya, Sipon dan dua orang anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah.
“Setiap kali kepala seorang sastrawan dipenggal, kebenaran dalam sastra itu akan menitis ke kepala seribu sastrawan lain," begitu ujar Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan esainya, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Barangkali hal yang demikian ini terjadi pada diri Wiji Thukul. Jasad Thukul boleh dilenyapkan, akan tetapi karya dan semangat perlawanannya terus hidup hingga saat ini. Ia terus menitis ke kepala setiap orang yang mengkhidmati puisi-puisinya dan meresapi perjuangannya. Dengan kata lain, Wiji Thukul terus tumbuh dan tetap utuh, seperti yang pernah ia katakan dalam sebuah puisinya: “Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa!"

Tanjung Priok, 1 Juli 2017
Dimas Albiyan




      [1]   Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10.
    [2] Ihs, ”Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, (Jakarta: Pembebasan Edisi 18/V/Juli 2000), h.20