Sabtu, 18 November 2017

MENGGALI SEGALA KEMUNGKINAN DALAM KETIDAKBEBASAN

     Saya membaca sebuah esai karya Jamal D. Rahman beberapa bulan yang lalu. Esai tersebut berjudul “Puisi, Setelah Kebebasan”. Di dalam esainya tersebut, penyair yang juga pimpinan redaksi majalah sastra Horison ini mengajak kita untuk menengok kembali bentuk puisi lama seperti pantun, syair, gurindam, dan lainnya—di tengah maraknya puisi-puisi Indonesia saat ini yang bercorak puisi bebas. Apa yang disampaikan oleh Jamal D. Rahman ini begitu menarik hati saya—dan kemudian mengilhami saya untuk membuat tulisan ini.
Pada bagian awal esai tersebut, Jamal D. Rahman mengulas sebuah pernyataan dari Berthold Damshäuser (dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn, Jerman) yang membahas perihal perkembangan puisi Indonesia saat ini. Berthold Damshäuser mengatakan, bahwa kebanyakan puisi Indonesia saat ini merupakan prosa, atau bisa dibilang mengandung unsur prosa yang kental. Cenderung sulit menemukan puisi Indonesia dewasa ini yang mengeksplorasi keindahan rima dan larik yang teratur lagi ketat, serta mengandung unsur musikalitas kata yang kuat—yang secara teknis dapat disebut sebagai sajak. Meskipun banyak dari puisi-puisi itu memiliki bentuk yang berlarik-larik, namun corak kata-kata yang menyusunnya lebih menyerupai prosa. Singkatnya, Berthold mengatakan bahwa ia merindukan puisi Indonesia yang bukan prosa. Ia merindukan sajak.
Kerinduan Berthold akan puisi Indonesia yang berbentuk sajak ini kiranya dapat kita pahami. Pada kenyataannya, memang amat mudah menemukan puisi bebas dalam perpuisian Indonesia saat ini. Sebaliknya, relatif sulit menemukan puisi bersajak yang memiliki larik dan rima yang teratur lagi ketat, serta mengandung unsur musikalitas kata yang kuat.  
Suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa puisi bebas saat ini memang menjadi pilihan banyak penulis. Bentuknya yang bebas itu dianggap lebih memungkinkan bagi kita untuk melakukan berbagai eksplorasi. Lain halnya dengan puisi lama yang tidak bebas dan terikat oleh aturan baku sebagaimana pantun dan syair.
Lantas, apakah benar puisi lama yang tidak bebas dan banyak aturan itu tidak dapat kita eksplorasi serta gali-korek sedalam-dalamnya lagi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari sama-sama kita simak terlebih dahulu kutipan teks berikut.

/1/
Hutan bayang rimbanya sakti
Layang-layang di Gondangdia
Karena sujud dalam hati
Bayang-bayang kusangka dia

Layang-layang di Gondangdia
Ambil mengkudu di pohon kapas
Bayang-bayang kusangka dia
Hati rindu belumlah lepas

(Pantun Melayu, Balai Pustaka: 2008)

Sebagaimana kita ketahui bersama, teks di atas merupakan sebuah pantun, salah satu bentuk puisi lama yang terkenal dan tersebar di wilayah Nusantara. Kita dapat mengetahuinya  berdasarkan  bentuk dan pola  yang digunakannya: menggunakan rima a-b-a-b, mengandung sampiran dan isi, serta mematuhi aturan jumlah bait, baris, kata, dan suku kata. 
         Sekarang, mari kita simak kembali sebuah kutipan teks berikut ini. 

/2/
3 PANTUN TAK TUNTAS

Telah membusuk setangkai sirih
Kupetik pada cuaca yang salah
Telah kautusuk: sehunus pedih
Ketika kau berbisik: “aku telah …”

Sebelah pinang sekerat kenang
Engkau sirih yang terkunyah
Sembunyi di gelap selapis bayang
Aku bertanya: “engkaukah …”

Berkanvas sirih engkau kulukis
Berkuas jemari kulakar tatapku
Bergegas sisa-sisa dengus kukais
Sebelum nafas habis, lalu …

Puisi di atas yang berjudul “3 Pantun Tak Tuntas” tersebut saya kutip dari buku tentang tips menulis puisi berjudul “Menapak ke Puncak Sajak” karya Hasan Aspahani. Sayangnya dalam buku itu tidak dicantumkan nama penulis puisinya siapa. Barangkali penulisnya adalah Hasan Aspahani sendiri.
Puisi “3 Pantun Tak Tuntas” itu adalah contoh bagaimana sebuah pantun dapat dieksplorasi sedemikian rupa. Bagaimana bahasa dari khazanah pantun lama tetap dipertahankan, akan tetapi di sisi lain suasana baru juga terbangkitkan. Kita pun dapat membandingkan antara teks 1 dan 2 corak diksinya memiliki warna yang cenderung sama. Baris terakhir dalam tiap bait “3 Pantun Tak Tuntas” ini memang tidak tuntas kalimatnya, sebagaimana yang tersirat pada judulnya, namun rimanya  a-b-a-b sebagaimana pantun pada umumnya. 
Bagi saya pribadi, puisi “3 Pantun Tak Tuntas” ini menunjukkan kecerdikan dan kekreatifan si penulis dalam mengeksplorasi pantun yang tidak bebas dan banyak aturan itu. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa dalam ketidakbebasan pun kita masih bisa menggali berbagai kemungkinan. Puisi ini contohnya. Sebuah puisi yang menggunakan bentuk dan pola pantun, namun diakal-akali sedemikian rupa sehingga mampu menampilkan sesuatu yang lama tapi baru, atau dengan kata lain menyajikan sesuatu yang lama dengan cara yang baru.
Berdasarkan contoh kutipan teks di atas, maka dapat kita katakan, bahwa bentuk puisi lama yang tidak bebas dan banyak aturan itu ternyata masih bisa kita eksplorasi serta gali-korek sedalam-dalamnya—dan itu adalah tantangan yang sangat mengasyikkan!
Mengapa saya katakan itu sebagai sebuah tantangan yang mengasyikkan? Hal itu karena kita seperti diajak untuk bereksperimen, mengotak-atik suatu bentuk yang sudah ada, memilah-milah mana yang mesti dipertahankan, mana yang mesti ditanggalkan, sampai kita dapat menemukan suatu formula atau cara untuk menulis yang rasa-rasanya pas bagi kita—untuk menyampaikan segenap pikiran dan perasaan kita.
Di samping pantun, bentuk puisi lama yang cukup masyhur di wilayah Nusantara adalah gurindam, yakni bentuk puisi yang terpengaruh oleh budaya sastra India yang biasanya berisi nasihat dan filosofi hidup. Pengarang gurindam yang terkenal adalah Raja Ali Haji, saudara sepupu Raja Ali yang menjadi raja di Riau (1844-1857). Raja Ali Haji terkenal dengan karyanya yakni “Gurindam Dua Belas”. Berikut ini akan saya kutipkan potongan gurindam dua belas karya Raja Ali Haji.

Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat

Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru
(Gurindam Dua Belas Pasal 6)

Beberapa tahun yang lalu, penyair Hasan Aspahani juga pernah menulis sebuah puisi yang ia beri judul “Gurindam”. Puisi ini kemudian menjadi salah satu puisi yang terpilih sebagai “60 Puisi Terbaik Indonesia 2009” dalam anugerah sastra Pena Kencana. Sebagai perbandingan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, ini akan saya kutipkan juga penggalan puisi Hasan Aspahani tersebut.

Kamus bukan samudra, juga bukan luas angkasa
Kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.

Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata
Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa

Di manakah rumah paling nyaman bagi kata?
Pada sajak, bukan kamus, bukan bicara.
(Hasan Aspahani, Gurindam)

Mari kita bandingkan antara Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji dengan puisi “Gurindam” yang ditulis oleh Hasan Aspahani. Adakah perbedaan yang kita temui antara keduanya? Dari segi pola, praktis tidak ada perbedaan antara kedua teks tersebut. Keduanya sama-sama patuh terhadap aturan gurindam seperti jumlah baris tiap bait, jumlah kata dalam tiap baris. Jika ada yang sedikit berbeda, maka itu adalah perihal isinya. Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji berisi tentang nasihat kehidupan sebagaimana gurindam pada umumnya. Puisi “Gurindam” karya Hasan Aspahani pun sebenarnya sama: berisi nasihat. Hanya saja dalam “Gurindam” karya Hasan Aspahani nasihatnya berkaitan seputar menulis sajak. Itu saja perbedannya.
Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Hasan Aspahani dalam puisi “Gurindam” ini merupakan suatu usaha yang layak untuk kita tiru. Ia berhasil mengolah kembali bentuk gurindam secara kreatif, dengan asyiknya mengeksplorasi suatu bentuk yang sudah baku dengan cara yang baru.
Kita pun juga bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Hasan Aspahani tersebut. Kita bisa menirunya. Bukanlah suatu hal yang salah apabila kita mencoba menengok kembali berbagai bentuk puisi lama dalam menulis puisi—di samping kita menulis puisi bebas. Kemudian kita juga dapat mengotak-atik bentuk-bentuk tersebut, mengeksplorasinya sekreatif mungkin,  untuk menemukan bentuk yang kita rasa paling pas untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kita. 
Sebelum saya akhiri, saya ingin menyampaikan, bahwa apa yang saya tulis di sini adalah sekadar ajakan untuk kita menengok kembali bentuk-bentuk puisi lama. Bukan bermaksud menyatakan bahwa puisi yang bersajak lebih baik dari pada puisi bebas atau puisi prosais, pun sebaliknya. Tulisan ini sekadar ajakan. Barangkali dengan kita meninjau kembali bentuk puisi lama, kita dapat memelajari perangkat-perangkat puitiknya untuk berlatih menulis, mengolahnya kembali dengan sekreatif mungkin, yang pada akhirnya berdampak pada semakin variatif dan kuatnya kemampuan menulis puisi kita. Kita bisa menulis puisi bebas saat kita sedang ingin menulis puisi bebas. Kita pun bisa menulis puisi bercorak puisi lama seperti pantun atau syair saat kita sedang ingin menulis dalam bentuk tersebut. Satu hal yang paling penting adalah terus menulis saja. Terus berusaha menggali segala kemungkinan dalam menulis—baik dalam kebebasan, maupun dalam ketidakbebasan.

Tanjung Priok, 18 November 2017

Rabu, 01 November 2017

Penyimpangan Bahasa dalam Puisi

PENYIMPANGAN BAHASA DALAM PUISI

     Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi ciri satu angkatan periode sastra tertentu. Penyimpangan bahasa tersebut disebabkan bahasa puisi khususnya dan bahasa sastra pada umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menentangnya. (Teeuw, 1983: 4). Penyair melakukan penyimpangan bahasa dalam puisinya tersebut seringkali untuk memberikan daya/kekuatan bentuk pengucapan tertentu dalam puisinya. Selain itu, penyimpangan bahasa juga dilakukan karena penyair kerap merasa, bahwa bahasa konvensional yang sudah ada tidak dapat menjadi medium yang mampu mengungkapkan perasaannya secara tuntas. Sementara di sisi lain, sudah barang tentu melalui puisinya penyair ingin mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara tuntas.
        Geoffrey Leech menyebutkan adanya sembilan jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi memiliki sembilan aspek penyimpangan itu, tetapi mungkin hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan pada zaman tertentu. Kesembilan penyimpangan bahasa itu merupakan kumpulan data dari berbagai puisi dalam berbagai kurun waktu tertentu (leech: 1976, 42-52).

1. Penyimpangan Semantis
      Sebagaimana yang sudah kita bahas sebelumnya, semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang makna tanda bahasa. Berkaitan tentang ilmu semantik, penyair sering kali mengabaikan aturan semantik dalam puisinya, atau yang dapat disebut juga sebagai penyimpangan semantis. Penyimpangan semantis berarti penyimpangan yang berupa penggunaan kata dalam puisi yang maknanya tidak menunjuk kepada makna aslinya dan satu makna tertentu. Misalnya, ketika seorang penyair menggunakan kata ‘langit’ dalam puisinya, bisa jadi makna ‘langit’ yang ia maksud itu bukan ‘langit’ sebagaimana yang kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Kata ‘langit’ itu bisa merujuk kepada ‘Tuhan’ atau ‘sesuatu/seseorang yang sangat jauh dan sulit dijangkau’.

2. Penyimpangan Fonologis (Bunyi Bahasa)
       Untuk kepentingan rima, penyair sering melakukan penyimpangan bunyi. Sebagai contoh, dalam puisinya yang berjudul “Yang Terampas dan Putus”, Chairil Anwar menggunakan kata ‘menggigir’ untuk menggantikan kata ‘menggigil’. Ia melakukan penyimpangan dengan mengubah bunyi /l/ dalam kata ‘menggigil’ menjadi bunyi /r/ sehingga menjadi ‘menggigir’
“Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin” (Yang Terampas dan Yang Putus)

3. Penyimpangan Morfologis (Pembentukan Kata)
    Penyair sering kali juga tidak mengindahkan aturan morfologis (pembentukan kata) untuk memberi daya/kekuatan tertentu dalam bentuk pengucapan puisinya. Sebagai contoh akan saya kutip puisi Balada Sumillah karya W.S. Rendra di bawah ini.

“bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan
ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya”
(Balada Sumilah)

Dalam kutipan puisi tersebut, Rendra menggunakan kata ‘ngusapi’ dan ‘nepuki’ yang sebenarnya secara morfologis tidak tepat. Penggunaan yang tepat adalah ‘ mengusapi’ yang dibentuk dari kata dasar ‘usap’ +  imbuhan ‘me-i’ dan kata ‘menepuki’ yang terbentuk dari kata dasar ‘tepuk’ + imbuhan ‘me-i’.

4. Penyimpangan Sintaksis
          Penyimpangan sintaksis ini dapat juga disebut sebagai penyimpangan pola kalimat dalam puisi, dengan catatan perlu diingat bahwa kata-kata dalam puisi tidak membangun kalimat, melainkan baris atau larik.
Penyair kerap mengabaikan aturan pola kalimat dalam kaidah bahasa. Sebagai contoh saya kutip puisi Chairil Anwar yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” di bawah ini.

“Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali”

Pada kutipan puisi di atas Chairil menggunakan frase ‘ini kali’ yang sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Penggunaan yang tepat seharusnya ‘kali ini’ karena bahasa Indonesia memiliki pola diterangkan-menerangkan.
Berkaitan tentang pola diterangkan-menerangkan ini saya akan megambil contoh berikut.

Contoh: yang benar adalah “kucing hitam”, bukan “hitam kucing”. Kata yang lebih dulu disebut adalah ‘kucing’ (sesuatu yang diterangkan), baru kemudian diikuti oleh kata ‘hitam’ (sesuatu yang menerangkan kata ‘kucing’ itu—yang menerangkan bahwa kucing itu berwarna hitam).
Hal ini berbanding terbalik dengan kaidah bahasa Inggris yang memiliki pola menerangkan-diterangkan. Sebagai contoh, yang benar adalah “black cat”, bukan “cat black”.

5. Penyimpangan Leksikal
           Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: ngiau, pepintu, leluka, sepisaupi.
Sebagai contoh adalah puisinya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Sepisaupi”.

“sepisaupa, sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi”

6. Penggunaan Dialek
          Melalui puisinya, penyair ingin mengungkapkan isi hatinya dengan tuntas. Akan tetapi, seringkali penyair merasa bahasa Indonesia tidak mampu mewakili perasaannya secara tuntas, yang membuat penyair itu “terpaksa” menggunakan kosa kata bahasa daerahnya untuk mengungkapkan suatu perasaan/emosi tertentu. Sebagai contoh akan saya kutip puisi F. Aziz Manna yang berjudul “Jumpritan” dan puisi Wiji Thukul yang berjudul “Nyanyian Abang Becak” di bawah ini.

“lengan pun melimbang dari tiang ke pegangan. dari yang satu ke yang ragam.
bonda-bendi sing ketiban dadi”. dia yang telah ditunjuk mengincim kami.
mengejar ke mana pun pergi”
(Jumpritan)

“jika harga minyak mundhak
simbok semakin ajeg berkelahi sama bapak”
(Nyanyian Abang Becak)

7. Penggunaan Register.
           Penyimpangan ini berupa penggunaan ragam bahasa atau istilah yang digunakan kelompok profesi tertentu dalam masyarakat. Misalnya dalam kelompok profesi supir angkot di daerah Jabodetabek terdapat istilah “sewa” yang berarti penumpang, “bongkaran” yang berarti penumpang dalam jumlah banyak, atau istilah “empat enam” yang mengacu pada bangku di angkot yang muat 6 orang untuk di bangku sebelah kanan dan 4 orang untuk di bangku yang sebelah kiri.
Penyair seringkali menggunakan register (dialek profesi) ini untuk menguatkan latar puisi yang temanya berkaitan dengan profesi tertentu itu.

8. Penyimpangan Historis
           Adalah bentuk penyimpangan yang menggunakan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari seperti kata jenawi, ripuh, bonda, dewangga, lampus dan sebagainya.
Sebagai contoh adalah kutipan dari tulisan pembuka dalam kumpulan puisi “Nyanyi Sunyi” karya Amir Hamzah di bawah ini yang mengunakan kata “lampus”.

Sunyi itu luka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

9. Penyimpangan Grafologis
           Penyimpangan grafologis adalah penyimpangan yang berupa tidak digunakannya tanda baca atau penggunaan huruf kapital sebagaimana mestinya dalam puisi.
Sebagai contoh akan saya kutip secara penuh puisi “Playon” karya F. Aziz Manna yang mana terdapat penyimpangan grafologis di dalamnya. Ia tidak menggunakan huruf kapital di setiap akhir baris yang dibubuhi tanda titik.
Kutipan puisi ini juga sekaligus menutup materi tentang “Penyimpangan Bahasa dalam Puisi” kali ini.
Akhir kata, semoga bermanfaat, dan selamat menikmati puisinya.
Salam.

PLAYON

garis awal, garis pintu, satu kaki di depan, satu di belakang.
kepala lurus, angin bersidorong. yang lalu lintaslah, yang lintas
lalulah. garis jalan, garis belokan, satu kaki membumi,
satu kaki mengawang, kepala lurus, angin bersidorong.
yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah. garis akhir, garis pintu
satu kaki di dalam, satu kaki di luar, kepala lurus, angin bersidorong.
yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah. debu dan keringat
lengket, pikiran sekosong ceret, garis hablur terseret,
angin bersidorong. yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah.

(F. Aziz Manna)

*Sumber Pustaka Materi: Buku “Teori dan Apresiasi Puisi” karya Herman J. Waluyo.


Note:
Perlu kita ketahui sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan “penyimpangan bahasa” dalam materi ini bukanlah merupakan suatu hal yang salah, melainkan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh penyair untuk memperkuat daya puisi yang ditulis olehnya.
Ada beberapa alasan mengapa penyair melakukan penyimpangan bahasa dalam puisinya. Di antara beberapa alasan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Untuk memperkuat daya puisi
2. Untuk mencapai bentuk pengucapan tertentu yang diinginkan
3. Untuk mencapai keselarasan rima

Selain itu, penyimpangan bahasa juga dilakukan oleh penyair karena ia kerap merasa, bahwa bahasa konvensional yang sudah ada tidak dapat menjadi medium yang mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara tuntas serta memuaskan jiwanya.
Demikian pengantar materi ini saya sampaikan.
Btw teman-teman juga bisa menggunakan penyimpangan bahasa ini sebagai salah satu jurus dalam menulis puisi ke depannya.
Akhir kata, semoga bermanfaat. 
Dan bagi teman-teman yang ingin bertanya silakan. Akan saya coba jawab semampu saya.
Terima kasih..