MENGGALI SEGALA KEMUNGKINAN DALAM KETIDAKBEBASAN
Saya membaca sebuah esai karya Jamal D. Rahman beberapa bulan yang lalu. Esai tersebut berjudul “Puisi, Setelah Kebebasan”. Di dalam esainya tersebut, penyair yang juga pimpinan redaksi majalah sastra Horison ini mengajak kita untuk menengok kembali bentuk puisi lama seperti pantun, syair, gurindam, dan lainnya—di tengah maraknya puisi-puisi Indonesia saat ini yang bercorak puisi bebas. Apa yang disampaikan oleh Jamal D. Rahman ini begitu menarik hati saya—dan kemudian mengilhami saya untuk membuat tulisan ini.
Pada bagian awal esai tersebut, Jamal D. Rahman mengulas sebuah pernyataan dari Berthold Damshäuser (dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn, Jerman) yang membahas perihal perkembangan puisi Indonesia saat ini. Berthold Damshäuser mengatakan, bahwa kebanyakan puisi Indonesia saat ini merupakan prosa, atau bisa dibilang mengandung unsur prosa yang kental. Cenderung sulit menemukan puisi Indonesia dewasa ini yang mengeksplorasi keindahan rima dan larik yang teratur lagi ketat, serta mengandung unsur musikalitas kata yang kuat—yang secara teknis dapat disebut sebagai sajak. Meskipun banyak dari puisi-puisi itu memiliki bentuk yang berlarik-larik, namun corak kata-kata yang menyusunnya lebih menyerupai prosa. Singkatnya, Berthold mengatakan bahwa ia merindukan puisi Indonesia yang bukan prosa. Ia merindukan sajak.
Kerinduan Berthold akan puisi Indonesia yang berbentuk sajak ini kiranya dapat kita pahami. Pada kenyataannya, memang amat mudah menemukan puisi bebas dalam perpuisian Indonesia saat ini. Sebaliknya, relatif sulit menemukan puisi bersajak yang memiliki larik dan rima yang teratur lagi ketat, serta mengandung unsur musikalitas kata yang kuat.
Suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa puisi bebas saat ini memang menjadi pilihan banyak penulis. Bentuknya yang bebas itu dianggap lebih memungkinkan bagi kita untuk melakukan berbagai eksplorasi. Lain halnya dengan puisi lama yang tidak bebas dan terikat oleh aturan baku sebagaimana pantun dan syair.
Lantas, apakah benar puisi lama yang tidak bebas dan banyak aturan itu tidak dapat kita eksplorasi serta gali-korek sedalam-dalamnya lagi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari sama-sama kita simak terlebih dahulu kutipan teks berikut.
/1/
Hutan bayang rimbanya sakti
Layang-layang di Gondangdia
Karena sujud dalam hati
Bayang-bayang kusangka dia
Layang-layang di Gondangdia
Ambil mengkudu di pohon kapas
Bayang-bayang kusangka dia
Hati rindu belumlah lepas
(Pantun Melayu, Balai Pustaka: 2008)
Sebagaimana kita ketahui bersama, teks di atas merupakan sebuah pantun, salah satu bentuk puisi lama yang terkenal dan tersebar di wilayah Nusantara. Kita dapat mengetahuinya berdasarkan bentuk dan pola yang digunakannya: menggunakan rima a-b-a-b, mengandung sampiran dan isi, serta mematuhi aturan jumlah bait, baris, kata, dan suku kata.
Sekarang, mari kita simak kembali sebuah kutipan teks berikut ini.
/2/
3 PANTUN TAK TUNTAS
Telah membusuk setangkai sirih
Kupetik pada cuaca yang salah
Telah kautusuk: sehunus pedih
Ketika kau berbisik: “aku telah …”
Sebelah pinang sekerat kenang
Engkau sirih yang terkunyah
Sembunyi di gelap selapis bayang
Aku bertanya: “engkaukah …”
Berkanvas sirih engkau kulukis
Berkuas jemari kulakar tatapku
Bergegas sisa-sisa dengus kukais
Sebelum nafas habis, lalu …
Puisi di atas yang berjudul “3 Pantun Tak Tuntas” tersebut saya kutip dari buku tentang tips menulis puisi berjudul “Menapak ke Puncak Sajak” karya Hasan Aspahani. Sayangnya dalam buku itu tidak dicantumkan nama penulis puisinya siapa. Barangkali penulisnya adalah Hasan Aspahani sendiri.
Puisi “3 Pantun Tak Tuntas” itu adalah contoh bagaimana sebuah pantun dapat dieksplorasi sedemikian rupa. Bagaimana bahasa dari khazanah pantun lama tetap dipertahankan, akan tetapi di sisi lain suasana baru juga terbangkitkan. Kita pun dapat membandingkan antara teks 1 dan 2 corak diksinya memiliki warna yang cenderung sama. Baris terakhir dalam tiap bait “3 Pantun Tak Tuntas” ini memang tidak tuntas kalimatnya, sebagaimana yang tersirat pada judulnya, namun rimanya a-b-a-b sebagaimana pantun pada umumnya.
Bagi saya pribadi, puisi “3 Pantun Tak Tuntas” ini menunjukkan kecerdikan dan kekreatifan si penulis dalam mengeksplorasi pantun yang tidak bebas dan banyak aturan itu. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa dalam ketidakbebasan pun kita masih bisa menggali berbagai kemungkinan. Puisi ini contohnya. Sebuah puisi yang menggunakan bentuk dan pola pantun, namun diakal-akali sedemikian rupa sehingga mampu menampilkan sesuatu yang lama tapi baru, atau dengan kata lain menyajikan sesuatu yang lama dengan cara yang baru.
Berdasarkan contoh kutipan teks di atas, maka dapat kita katakan, bahwa bentuk puisi lama yang tidak bebas dan banyak aturan itu ternyata masih bisa kita eksplorasi serta gali-korek sedalam-dalamnya—dan itu adalah tantangan yang sangat mengasyikkan!
Mengapa saya katakan itu sebagai sebuah tantangan yang mengasyikkan? Hal itu karena kita seperti diajak untuk bereksperimen, mengotak-atik suatu bentuk yang sudah ada, memilah-milah mana yang mesti dipertahankan, mana yang mesti ditanggalkan, sampai kita dapat menemukan suatu formula atau cara untuk menulis yang rasa-rasanya pas bagi kita—untuk menyampaikan segenap pikiran dan perasaan kita.
Di samping pantun, bentuk puisi lama yang cukup masyhur di wilayah Nusantara adalah gurindam, yakni bentuk puisi yang terpengaruh oleh budaya sastra India yang biasanya berisi nasihat dan filosofi hidup. Pengarang gurindam yang terkenal adalah Raja Ali Haji, saudara sepupu Raja Ali yang menjadi raja di Riau (1844-1857). Raja Ali Haji terkenal dengan karyanya yakni “Gurindam Dua Belas”. Berikut ini akan saya kutipkan potongan gurindam dua belas karya Raja Ali Haji.
Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat
Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru
(Gurindam Dua Belas Pasal 6)
Beberapa tahun yang lalu, penyair Hasan Aspahani juga pernah menulis sebuah puisi yang ia beri judul “Gurindam”. Puisi ini kemudian menjadi salah satu puisi yang terpilih sebagai “60 Puisi Terbaik Indonesia 2009” dalam anugerah sastra Pena Kencana. Sebagai perbandingan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, ini akan saya kutipkan juga penggalan puisi Hasan Aspahani tersebut.
Kamus bukan samudra, juga bukan luas angkasa
Kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.
Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata
Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa
Di manakah rumah paling nyaman bagi kata?
Pada sajak, bukan kamus, bukan bicara.
(Hasan Aspahani, Gurindam)
Mari kita bandingkan antara Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji dengan puisi “Gurindam” yang ditulis oleh Hasan Aspahani. Adakah perbedaan yang kita temui antara keduanya? Dari segi pola, praktis tidak ada perbedaan antara kedua teks tersebut. Keduanya sama-sama patuh terhadap aturan gurindam seperti jumlah baris tiap bait, jumlah kata dalam tiap baris. Jika ada yang sedikit berbeda, maka itu adalah perihal isinya. Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji berisi tentang nasihat kehidupan sebagaimana gurindam pada umumnya. Puisi “Gurindam” karya Hasan Aspahani pun sebenarnya sama: berisi nasihat. Hanya saja dalam “Gurindam” karya Hasan Aspahani nasihatnya berkaitan seputar menulis sajak. Itu saja perbedannya.
Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Hasan Aspahani dalam puisi “Gurindam” ini merupakan suatu usaha yang layak untuk kita tiru. Ia berhasil mengolah kembali bentuk gurindam secara kreatif, dengan asyiknya mengeksplorasi suatu bentuk yang sudah baku dengan cara yang baru.
Kita pun juga bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Hasan Aspahani tersebut. Kita bisa menirunya. Bukanlah suatu hal yang salah apabila kita mencoba menengok kembali berbagai bentuk puisi lama dalam menulis puisi—di samping kita menulis puisi bebas. Kemudian kita juga dapat mengotak-atik bentuk-bentuk tersebut, mengeksplorasinya sekreatif mungkin, untuk menemukan bentuk yang kita rasa paling pas untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kita.
Sebelum saya akhiri, saya ingin menyampaikan, bahwa apa yang saya tulis di sini adalah sekadar ajakan untuk kita menengok kembali bentuk-bentuk puisi lama. Bukan bermaksud menyatakan bahwa puisi yang bersajak lebih baik dari pada puisi bebas atau puisi prosais, pun sebaliknya. Tulisan ini sekadar ajakan. Barangkali dengan kita meninjau kembali bentuk puisi lama, kita dapat memelajari perangkat-perangkat puitiknya untuk berlatih menulis, mengolahnya kembali dengan sekreatif mungkin, yang pada akhirnya berdampak pada semakin variatif dan kuatnya kemampuan menulis puisi kita. Kita bisa menulis puisi bebas saat kita sedang ingin menulis puisi bebas. Kita pun bisa menulis puisi bercorak puisi lama seperti pantun atau syair saat kita sedang ingin menulis dalam bentuk tersebut. Satu hal yang paling penting adalah terus menulis saja. Terus berusaha menggali segala kemungkinan dalam menulis—baik dalam kebebasan, maupun dalam ketidakbebasan.
Tanjung Priok, 18 November 2017