Rabu, 11 Mei 2016

Melintasi Subuh di Pasar Waru


Melintasi pasar ini di kala subuh, membuatku teringat akan masa kecilku bersama dengan teman-temanku. Dulu, saat masih menginjak sekolah dasar, kami gemar berjalan kaki bersama mengitari blok tempat tinggal kami setiap Minggu subuh. Jumlah kami sekitar lima sampai tujuh orang waktu itu. Akan kuceritakan nanti kepadamu perihal teman-teman masa kecilku itu.
"Ritual" berjalan kaki kami dimulai dari Gang 4, gang di mana rumah kami berada. Sebuah gang sempit dengan lebar dua meter. Ada got besar yang menyerupai kali kecil di sepanjang sisinya. Aliran air got ini mengalir ke arah Kali Kresek yang nantinya akan bermuara di Teluk Jakarta. Dari gang ini, kami berjalan ke arah timur. Menyusuri gang padat penduduk yang di kala subuh sudah mulai ramai dengan berbagai aktivitas warganya. Tiba di mulut gang, kami berbelok ke arah kiri menyusuri Jalan Kramat Jaya. Melewati toko-toko yang belum dibuka, patung Diponegoro yang dengan gagah sedang menunggang kuda di atas gapura Gang 2, jalan yang masih nampak lengang dan lega. Kami berjalan sekitar 100 meter di jalan ini. Kemudian kembali berbelok ke kiri menyusuri Jalan Raya Cilincing. Jalan ini adalah akses utama menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Kecuali hari libur, jalan ini selalu dipadati oleh truk-truk besar yang hendak masuk atau keluar pelabuhan. Pada jam berangkat atau pulang kerja, sudah bisa dipastikan jalan ini akan macet. Akan tetapi, hal itu tidak akan terjadi pada Minggu subuh. Hanya ada beberapa truk saja yang terlihat. Jadi, setiap menyusuri jalan ini, pemandangan yang kami lihat adalah sebuah jalan raya dengan truk-truk besar yang sesekali melintas.
Sekitar 10 menit menyusuri Jalan Raya Cilincing, kami tiba di Pasar Waru. Pasar sudah ramai. Kami berjalan di antara orang-orang yang tengah berbelanja. Melewati kios-kios sayuran, buah-buahan, daging, barang pecah-belah, dan lainnya. Di pasar ini, terkadang kami singgah sebentar untuk membeli jajanan kue yang penjualnya adalah orang Madura. Ada kue apem, bakpau isi kacang ijo, cucur, donat gula, gemblong, onde-onde, dan roti goreng isi kelapa. Waktu itu dengan uang lima ratus rupiah kami bisa mendapatkan dua potong kue.
Setelah membeli kue, kami kembali berjalan sampai tiba di Gang 4. Di pinggir gang, di depan rumah salah seorang temanku, kami memakan kue yang sudah kami beli itu bersama-sama. Setelah kenyang kami pun bermain. Bermain gundu jika sedang musim gundu, bermain gambaran jika sedang musim gambaran, atau bermain bola saat sedang tidak ada musim apa-apa.

***

11 Mei 2016. Hari ini hari Rabu. Subuh tadi sewaktu lari pagi, aku melintasi Pasar Waru. Melintasi pasar ini di kala subuh, membuatku teringat akan masa kecilku bersama dengan teman-temanku. Aku sempatkan waktu untuk mampir sebentar membeli jajanan kue seperti yang kami lakukan dulu. Penjualnya masih orang Madura yang sama. Jenis-jenis kue yang dijualnya pun masih sama.  Jika ada yang berbeda, maka hal itu adalah perihal harganya. Sekarang, dengan uang seribu rupiah, kau hanya bisa mendapatkan satu potong kue saja.
Ya, satu potong kue saja.

Tj. Priok, 11 Mei 2016