Tiga
puisi ini dimuat di surat kabar Pikiran
Rakyat dua tahun yang lalu, tetapi saya baru tahu mengenai pemuatannya dua
hari yang lalu, saat melihat sebuah pesan di kotak masuk surel yang belum saya baca.
Pada
Minggu siang, saya tengah mencari alamat surel sepupu saya di kotak masuk untuk
sebuah keperluan, ketika melihat sebuah pesan yang belum saya baca. Pesan itu ternyata
dari redaksi Pikiran Rakyat yang
dikirim pada 25 September 2014, dua tahun yang lalu. Isi pesan itu adalah
sebuah pemberitahuan, bahwa jika tidak ada halangan, tiga buah puisi saya akan
dimuat di surat kabar tersebut pada edisi Minggu, 28 September 2014 dalam rubrik
Pertemuan Kecil. Tentu saya terkejut
ketika membacanya. Saya pun jadi teringat kalau saya pernah mengirim beberapa puisi ke
surat kabar itu sekitar dua tahun yang lalu. Saya mengirimnya lewat surel di
sebuah warnet di samping kampus.
Oleh
karena saya penasaran ingin melihat apakah benar ketiga puisi saya dimuat, saya mencoba mencari file PDF surat kabar Pikiran Rakyat edisi 28 September 2014
tersebut di Google, dan alhamdulillah ketemu.
Sebagaimana isi pesannya, ketiga puisi itu dimuat di rubrik Pertemuan Kecil, halaman 23.
Bisa
melihat puisi yang saya tulis dimuat di koran, saya hanya bisa bersyukur, dan mudah-mudahan
ini bisa menjadi pelecut semangat saya untuk terus menulis, dan terus menulis.
***
/1/
Hikayat
Mahabrata: Bhisma
Pujangga
titahkan
takdir
menjelma
anak panah
dalam
bidikan dara.
“Amba,
kekasihku, aku sudah siap.
Bunuhlah
aku sekarang!”
Tetapi
dara itu menjadi sedikit ragu.
Ia
tatap lekat-lekat
kedua
mata Bhisma yang pasrah –
yang
ia rasakan seperti sebuah lorong dejavu
atau
mungkin sebuah kisah cinta platonik
yang
tak pernah tertakdirkan.
“Aku
masuki kecamuk Baratayuda ini
memang
untuk membunuhmu.
Tetapi
maaf, Tuan! Aku bukan Amba,
aku
Srikandi!”
Lirih,
Bhisma tersenyum,
sedang dara itu kembali bersiap
membidik
anak panahnya
tepat
ke arah jantung Bhisma.
“Jika
engkau memang benar-benar lupa,
maka
kumohon
anggap
saja sekarang dirimu adalah Amba kekasihku,
agar
aku tenang
menjemput
getirnya mautku.
Maafkan
aku, Amba,
yang
dulu pernah mencampakkanmu!
Maafkan
aku!
Sesungguhnya,
aku
sangat ..................
.....................................”
Langit Kurusetra
merah dan kelam.
Lirih, Bhisma
tersenyum menatap dara
sebelum tubuh
rentanya
tumbang.
(2014)
/2/
Hikayat
Ramayana: Sinta kepada Rama
Sebab
akulah api
maka
jangan engkau menyentuhku lagi,
wahai
lelaki yang menamakan dirinya suci!
Memang
engkaulah
yang
telah membebaskan aku dari Dasamuka,
tetapi
engkau pula
yang
telah memaksakan aku menjelma api
dengan
keraguanmu yang menjadi-jadi.
Engkau
mencintai aku.
Aku
lebih mencintai engkau.
Tapi
jangan engkau menyentuhku lagi,
sebab
akulah api!
(2014)
/3/
Percakapan Rama
dengan Lesmana
“Akan
kutempuh Gunung Reksamuka, Negeri Alengka,
bahkan
Nirwana,
untuk
kembali bisa menyentuhmu,
Sinta.”
Begitulah,
kesatria itu terus
bergumam--
dengan
intonasi yang muram
seperti
elegi yang kelam
sepanjang
malam.
Sementara
hutan pun semakin dalam.
Sepotong
bulan
adalah
lentera yang temaram.
Mereka
terus jalan.
“Tapi,
Lesmana, wahai adikku,
apakah
Sinta masih mau menerimaku,
lelaki
peragu yang telah membiarkannya pergi
ke
sisi Rahwana?
Dan
apakah aku harus mengalahkan Rahwana
musuhku,
untuk
kembali dalam dekapan Sinta,
sekalipun
harus dengan peperangan akbar
yang
menumbalkan jutaan nyawa?”
“Maafkanlah
kelancanganku, Kanda Ramawijaya,
sesungguhnya, musuh sejatimu – yang harus kaukalahkan
bukanlah
Rahwana,
tetapi
tidak lain adalah keragu-raguanmu,
sedang di sisi lain, Dewi Sinta
tak
pernah sedikitpun meragukanmu.”
(2013-2014)