Minggu, 18 Oktober 2020

Untuk D

 Untuk D

 

Segala ingatan tentangmu selalu tersimpan

di jantung puisi-puisi ini.

Percakapan yang berakhir

sebelum semuanya tuntas.

Beberapa hal yang belum sempat

kusampaikan padamu.

Mengapa kesedihan harus sesakit ini?

Perasaan yang masih sama untukmu.

Kenangan tentang hari itu.

Mungkinkah terulang kembali

kesempatan itu.

Mungkinkah aku bisa

menjangkaumu?

 

Lagoa, 18 Oktober 2020

 

 

Selasa, 02 Juli 2019

Repetisi dalam Puisi


REPETISI DALAM PUISI

Teknik repetisi adalah  teknik pengulangan kata, frasa, klausa atau kalimat untuk mempertegas makna yang ingin disampaikan oleh penulis dalam puisinya (tulisannnya). Teknik atau majas repetisi ini banyak kita temukan dalam puisi-puisi populer Indonesia, misalnya, puisi “Aku Ingin” dan “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono yang saya kutip di bawah ini.  

/1/
AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
Kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.


/2/
HUJAN BULAN JUNI

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Pada puisi “Aku Ingin”, Sapardi menggunakan repetisi atau pengulangan baris “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Pengulangan ini digunakan untuk memperkuat daya puisi dan kedalaman makna, sehingga pembaca mampu merasakan kekuatan perasaan yang ingin disampaikan oleh penyair melalui puisinya.

Teknik repetisi ini tentunya juga banyak digunakan oleh penyair-penyair Indonesia terkemuka  lainnya, seperti Chairil Anwar dalam puisi “Prajurit Jaga Malam” (Aku suka pada mereka yang berani hidup, aku suka pada mereka yang masuk menemu malam); Goenawan Mohamad dalam puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” (sebelum bait pertama, sebelum selesai kata, sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba); dan lain-lain.

ANAFORA DAN EPIFORA
Teknik atau majas repetisi dibagi menjadi dua, yakni anafora dan epifora. Anafora adalah pengulangan yang dilakukan di awal kalimat atau awal bait, sedangkan epifora adalah pengulangan yang dilakukan di bagian akhir kalimat atau akhir bait.
Berikut ini akan saya contohkan puisi yang menggunakan anafora (pengulangan di awal kalimat atau bait)

Contoh Anafora:
/1/
Tiba juga musim penghabisan
Tiba juga mimpi yang terbenam pelahan
Tiba juga waktu memeluk kata-kata nan muram
Tiba juga tubuh terlelap di rimba gemintang.
(Pemateri)

M. Aan Mansyur juga menggunakan teknik anafora ini dalam puisi yang berjudul “Belajar Berenang”. Berikut akan saya kutip potongan puisinya.

Kau kebahagiaan yang terlambat terpejam. Kau yang pertama dan akan selalu basah dalam mimpiku. Kau yang terbangun tengah malam dari mataku.”

*Note: Puisi “Aku Ingin” dan “Hujan Bulan Juni” juga termasuk yang menggunakan anafora, terdapat pengulangan di awal bait.

Sekarang, saya akan memberikan contoh puisi yang menggunakan  teknik epifora (pengulangan di akhir kalimat atau bait)

/1/
Langit yang berdegup dalam jantungmu ternyata raib pada akhirnya
Bahasa yang kau susun di lembaran waktu ternyata raib pada akhirnya
Puisi-puisi yang menyembunyikan mimpi-mimpimu ternyata raib pada akhirnya
Kau dan semua yang terlelap dan terbangun ternyata raib pada akhirnya
(Pemateri)
Contoh puisi di atas menggunakan pengulangan di akhir baris/kalimat.

/2/
Aku pernah terjatuh
Dan kata-kata lenyap dari tubuhku
Dan airmata ibu yang menguatkan langkahku.

Segala arah mengabur
Hilang mata angin dan gemintang di muram semesta
Dan airmata ibu yang menguatkan langkahku
(Pemateri)

*Puisi di atas menggunakan epifora (pengulangan di akhir bait)

Dalam menulis puisi, kita pun juga bisa memadukan anafora dan epifora sekaligus.
Sebagai contoh akan saya kutip puisi karya Toto Sudarto Bachtiar di bawah ini.

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut
Semua suara
Janganlah takut padanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair
Dan pengembara
Janganlah takut padanya


Dimas Albiyan
Februari 2019

Kamis, 23 Agustus 2018

Diksi: Memilih Kata dalam Puisi

Diksi: Memilih Kata dalam Puisi

“Mencari apa yang hendak dipuisikan, lalu mencari cara untuk memuisikannya.”
(Hasan Aspahani)

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa terlepas dari kata, dari bahasa. Kita menggunakan kata nyaris setiap saat sepanjang hari, baik dalam bentuk komunikasi lisan maupun tulisan—mulai dari ketika menyapa anggota keluarga di rumah selepas bangun tidur, mengetik pesan singkat di Line atau Whats App, menulis keterangan foto yang kita unggah di Instagram, memesan menu makan siang di warung nasi padang, berbincang dengan orangtua, teman, guru, dosen atau atasan. Di setiap situasi tersebut, kita mesti menyesuaikan, memilah, dan memilih kata apa saja yang hendak kita gunakan—agar  apa yang ingin kita utarakan tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan tepat. Proses penyesuaian dan pemilihan kata inilah yang disebut sebagai diksi. Jadi, pada dasarnya diksi atau proses memilih kata itu bukan hanya kita lakukan pada saat menulis puisi saja, melainkan kita lakukan setiap hari.

Kata merupakan media utama dalam menulis puisi, sebagaimana cat dan kanvas yang merupakan media utama dalam melukis. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa proses memilih kata adalah tahap yang amat penting dalam menulis puisi. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana cara kita agar dapat memilih kata dengan baik dan tepat sehingga dapat mendukung keindahan, keselarasan, dan keutuhan puisi yang kita tulis?

Tulisan ini saya susun sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebagian merupakan tips yang bersumber dari pengalaman saya pribadi selama belajar menulis puisi—kegiatan yang sampai sekarang masih saya lakukan. Akan tetapi sebagian besar merupakan tips yang saya kutip dari penulis-penulis hebat yang tentunya secara kemampuan dan pengalaman menulisnya jauh di atas saya yang masih belajar. Berikut ini saya sampaikan tips-tips tersebut.

1. Memburu kata, memperbanyak perbendaharaan kata
Hal utama yang dapat kita lakukan agar dapat memilih kata dengan baik dan tepat adalah memperbanyak perbendaharaan kata. Tidak ada jalan lain. Kalau ingin diksi kita maksimal: kuasailah kata sebanyak-banyaknya. 

Di antara cara yang paling menyenangkan untuk memperbanyak perbendaharaan kata pastinya adalah membaca buku. Kita bisa membaca, menikmati, dan menghayati buku puisi karya penulis favorit kita. Sekedar berbagi pengalaman, saya sering membaca buku puisi yang sama berulang-ulang. Pada proses membaca yang pertama, saya membaca buku puisi tersebut sekedar untuk menikmati dan menghayati isinya saja. Pada proses pembacaan yang kedua dan selanjutnya, saya mulai membaca beberapa judul puisi dalam kumpulan tersebut secara berulang-ulang, menelaah teknik atau jurus apa yang digunakan oleh penulis tersebut dalam membangun keutuhan puisinya. Bukan hanya itu saja, saya juga sering mencatat kata-kata dalam buku puisi tersebut yang menarik hati saya ke dalam buku catatan, untuk kemudian saya olah kembali dan saya gunakan ke dalam puisi yang saya tulis.

Ketika awal belajar menulis puisi, saya pun sering membuat daftar kata dengan menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Biasanya saya membuka halaman secara acak lalu menulis kata-kata yang menarik hati saya dengan tujuan agar dapat digunakan ketika menulis. Tips membuat daftar atau “bank kata” ini barangkali juga bisa teman-teman lakukan. Kita bisa mencari sumber kata itu bukan hanya dari buku puisi atau kamus saja, tetapi juga bisa dari cerpen, novel, buku sejarah, buku psikologi, koran, media sosial atau sumber-sumber lainnya.

2. Mengolah Frasa
Frasa adalah gabungan kata. Sebagai contoh: baju biru, langit cerah, luas sekali, kopi ayah, apel di atas meja. Untuk menguatkan kemampuan diksi, kita bisa berlatih mengolah dan mengotak-atik kata menjadi berbagai frasa dan membuat daftarnya. Mari kita coba membuatnya: keheningan bahasa, ingatan yang terkunci, laut tua, sunyi di jendela, segelas kopi yang kedinginan, kota yang mencatat jejakmu, mimpi lelap, kata-kata di kesenyapan ponsel, dan seterusnya. Frasa-frasa tersebut bisa kita gunakan ketika kita menulis puisi.

3. Beberapa Hal yang Mesti Kita Perhatikan ketika Kita Memilih Kata
Ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan ketika memilih kata dalam puisi, seperti pertimbangan makna (apakah kuat atau tidak), keselarasan rima dan irama, serta kedudukan kata tersebut di tengah kata-kata lainnya.

Dalam menulis puisi, kita mesti menimbang-nimbang kata mana yang memiliki daya yang lebih kuat. Misalnya saya ambil contoh puisi “Aku Ingin”, sebuah puisi populer karya Sapardi Djoko Damono: “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Pada baris puisi tersebut, Pak Sapardi memilih menggunakan kata “mencintai” dibandingkan kata “menyayangi” atau “mengasihi”. Hal itu dilakukan karena menurut Pak Sapardi kata “mencintaimu” lebih kuat dan lebih mampu membangun keindahan, keselarasan, dan keutuhan puisi—dan saya sendiri (barangkali demikian pula dengan teman-teman) juga berpendapat sama, di antara tiga kata tersebut kata “mencintai”-lah yang paling kuat dan pas untuk mengisi baris tersebut.

Selain itu keselarasan rima juga merupakan hal yang mesti kita perhatikan dalam memilih kata. Sebagai contoh saya akan mengutip puisi karya Goenawan Mohamad yang berujudul “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”.

“Di piano bernyanyi baris rubaiyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama, sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba.

Pada kutipan puisi di atas, Goenawan Mohamad memilih menggunakan kata “tiba” dibanding kata “datang” (yang merupakan sinonimnya) karena mempertimbangkan rima, agar selaras dengan bunyi akhir/rima baris ketiga.

Demikianlah beberapa tips memilih diksi yang saya susun beradasarkan pengalaman saya dalam belajar menulis dan yang saya kutip dari berbagai sumber. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. Sebagai penutup ini saya kutipkan beberapa puisi dengan berbagai gaya diksi yang bisa kita nikmati bersama. Akhir kata, terima kasih.


/1/
SAJAK TAFSIR
(Karya Sapardi Djoko Damono)

Kau bilang aku burung
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api
yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja – aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.


/2/
SAJAK KEPADA BUNG DADI
(Karya Wiji Thukul)

ini tanahmu juga
rumah-rumah yang berdesakan
manusia dan nestapa
kampung halaman gadis-gadis muda
buruh-buruh berangkat pagi pulang sore
dengan gaji tak pantas
kampung orang-orang kecil
yang dibikin bingung
oleh surat-surat izin dan kebijaksanaan
dibikin tunduk mengangguk
bungkuk

ini tanah airmu
di sini kita bukan turis

(Solo-Sorogenen. malam Pemilu 87)


/3/
PULANG KE DAPUR IBU
(M. Aan Mansyur)

Aku hidup diantara orang-orang yang memilih
melakukan usaha lebih keras untuk menyakiti orang lain
dari pada menolong diri sendiri

Aku ingin pulang ke dapur ibuku,
melihatnya sepanjang hari tidak bicara,
Aku ingin menghirup seluruh kebahagiaannya
-yang menebal jadi aroma
yang selalu membuat anak kecil dalam diriku kelaparan.

Aku ingin diam dan hidup bersama ibuku.
Aku akan menyaksikan ia memetik sayur di kebun kecilnya
di halaman belakang untuk makan malam yang lengang,
Aku ingin membiarkannya tersenyum menatapku makan tanpa bernapas.

Aku ingin melihat ibuku tetap muda dan mudah tersenyum
Aku ingin menyimak seluruh kata yang tidak ia ucapkan
Aku ingin hari-harinya sibuk menebak, siapa yang membuatku
tiba-tiba suka bernyanyi di kamar mandi


Dimas Albiyan
Lagoa, 23 Agustus 2018

Mengenal Majas


MENGENAL MAJAS SIMILE, METAFORA, DAN PERSONIFIKASI


Majas adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna (menggunakan kata kiasan). Penggunaan majas inilah yang membedakan antara bahasa puisi dan karya sastra lainnya dengan teks lain seperti karya ilmiah atau berita. Ada berbagai macam jenis majas yang dapat kita gunakan untuk menguatkan puisi yang kita tulis. Akan tetapi dalam tulisan ini saya akan membahas tiga jenis puisi saja, yakni simile, metafora, dan personifikasi.

1. SIMILE
Simile atau yang juga disebut sebagai majas asosiasi adalah majas yang membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lainnya dengan menggunakan kata penghubung atau kata pembanding. Kata penghubung yang dimaksud tersebut di antaranya adalah: bagai, bagaikan, seperti, serupa, sebagai, layaknya, laksana. Itulah sebabnya mengapa simile juga kerap disebut sebagai perumpamaan tidak langsung, karena ketika mengumpamakan dua hal, dalam simile kita harus menggunakan kata-kata penghubung tersebut.
Contoh penggunaan majas simile: “engkau bagai pelita dalam kegelapan”, “langit seperti mimpi-mimpi yang panjang”, “sunyi serupa dinding yang dingin”, “hari-hari telah kutanam sebagai hutan", “puisi ini layaknya doa yang senantiasa kaupeluk di dinihari, “dan aku tak ubahnya serupa ingatan yang tak pernah tercatat dalam puisi itu.”
Berikut ini saya kutipkan beberapa kutipan puisi karya penyair terkemuka yang memanfaatkan penggunaan simile dalam puisinya.

“Dirimu selalu serupa embun pagi
yang pamit karena takut mentari
lantas aku lipat rinduku rapi-rapi.
(Didik Siswantono-Sajak Rindu Sepanjang Malam)

“Langit banyak menjatuhkan kata sifat.
Tidak satu pun ingin kutangkap dan kuingat.
Kubiarkan mereka bermain seperti anak-anak kecil
sebelum mengenal sekolah.
(M. Aan Mansyur-Menyaksikan Pagi dari Beranda)

“Aku bagai benih di bawah tanah.
Aku menanti tanda musim semi.
(Jalaluddin Rumi)

2. Metafora
Berbanding terbalik dengan simile, metafora adalah majas perumpamaan langsung. Pada metafora kita tidak perlu menggunakan kata penghubung seperti “bagai”, “serupa”, laksana, “bagaikan”, “layaknya”, “seperti”, “bak”, dan sebagainya. Mari kita lihat bersama-sama perbedaan antara simile dengan metafora. 
Sebagai contoh: “engkau bagai air yang jernih”. Kutipan ini menggunakan simile, menggunakan kata penghubung “bagai” untuk membandingkan “engkau” dengan  “air yang jernih”. Akan tetapi, dalam metafora kita tidak perlu menggunakan kata penghubung untuk membandingkannya. Sebagai contoh: “telah kulipat ingatan-ingatan itu”. Pada potongan puisi tersebut, si penulis membandingkan (mengumpamakan) “ingatan” seperti kertas yang bisa dilipat, namun si penulis tidak menggunakan kata penguhubung seperti bagai, laksana, serupa, dan lainnya. Bahkan si penulis juga tidak menyertakan kata “kertas” dalam kutipan puisi tersebut, ia langsung saja mengumpamakan: “ingatan bisa dilipat” (seperti kertas).
Contoh metafora lain:
a) dewi malam di atas langit. “Dewi malam” pada kutipan tersebut merujuk pada “bulan”.
b) “Gerimis di sudut matamu” yang mengumpamakan tangisan dengan gerimis.  
c) “Ia memanggul kesedihan itu sendiri” yang mengumpamakan kesedihan seperti barang yang bisa dipanggul.

Berikut saya kutip contoh potongan puisi karya penyair terkemuka yang menggunakan metafora.

“Embusan nafasmu menjelma kenangan
mengikat musim jadi lembar ingatan”
(Didik Siswantono)

“Kau bawa bertandan-tandan percakapan yang belum diiris”
(Adimas Imanuel)

3. Personifikasi
Personfikasi adalah majas yang banyak dijadikan jurus oleh penulis. Majas ini adalah suatu teknik membandingkan benda mati yang diumpamakan seperti makhluk hidup. Benda yang tak bernyawa dijadikan oleh si penyair seperti makhluk yang dapat bergerak dan melakukan tindakan. Contoh sederhananya seperti: “angin berbisik, pepohonan pun menari”, “matahari yang bersembunyi di balik bukit”, “ombak memagut pantai”, “sunyi masih berbicara di ruang ini”,  dan sebagainya.
Berikut ini saya kutip beberapa puisi karya penyair yang menggunakan majas personifikasi.

“Angin yang kini letih
bersujud di pelupuk ibu.”
(D. Zawawi Imron)

“Di depan perpustakaan, langit masih menatap jendela tertutup
itu tanpa berkedip.”
(M. Aan Mansyur)

Demikianlah pembahasan singkat mengenai majas simile, metafora, dan personifikasi dari saya.
Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Dimas Albiyan
Lagoa, 23 Agustus 2018

Minggu, 01 Juli 2018

Epilog


Akhirnya mengabur juga hari-hari itu.
Mimpi-mimpi yang dipudarkan tahun demi tahun.
Bayang dan ingatan yang berkelindan di jantung waktu,
di mana kau pernah membentangkan sebuah angan,
cahaya yang selalu ingin kausentuh dan kaugenggam.
Dan nasib,
sunyi riwayat yang melekat di dinding kenangan.
“Kini sudah tiba waktunya,” katamu.
Langkah dan kepergian mesti jua dilepaskan
pada kembara atau lembaran hari kosong−
mimpi-mimpi lain yang mesti kita tuliskan.

Tanjung Priok, 25 Juli 2017

Senin, 30 April 2018

review 2

Di tengah dominasi penyair laki-laki dalam dunia perpuisian Indonesia, saya sangat senang bisa menemukan kumpulan puisi “Gambar Kesunyian di Jendela” karya Shinta Febriany ini. Kehadiran Shinta seperti mengembuskan angin segar bagi dunia perpuisian negeri kita, sekaligus mampu memberikan inspirasi bagi perempuan untuk berkarya melalui puisi. Dengan diksi yang sederhana, Shinta menceritakan beragam hal seperti kesunyian, kesedihan, ketegaran, luka, dan perpisahan.
Nuansa kemuraman memang sangat kental dalam kumpulan puisi ini. Akan tetapi, Shinta mengemas kemuraman itu dengan bahasa yang puitis, sederhana, namun tidak klise dan terasa menyegarkan.
Puisi-puisi Shinta dalam kumpulan ini bagi saya seperti menunjukkan, bahwa kesedihan tidak selamanya mesti ditampilkan dengan kesan yang cengeng penuh dengan kenelangsaan, melainkan juga dapat ditampilkan dari sisi yang penuh ketegaran. Dalam puisi “Angin Oktober di Dadamu, misalnya, Shinta menuliskan ketegaran seseorang dalam menerima luka dan penderitaan: “Kau mencintai tubuhmu yang wangi penuh penderitaan, tapi kau ingin meninggalkannya”. Dalam bagian lain di puisi ini, Shinta bahkan menegaskan, bahwa luka dan keputusasaan mesti ditanggalkan, dan digantikan dengan hal-hal yang berwarna: “telah kauhapus lagu-lagu putus asa, dan menggantinya dengan baju-baju berwarna.
Secara keseluruhan, bagi saya kumpulan puisi “Gambar Kesunyian di Jendela” karya Shinta Febriany ini adalah sebuah karya yang amat menarik—dengan puisi yang indah, dalam, dan memiliki karakter yang kuat. Dan sebagai seorang penyair, menurut saya Shinta Febriany adalah sosok yang patut serta layak diperhitungkan.

Selasa, 12 Desember 2017

Memoar

If I lose my sense of place 
and my way in the wind,
I'll look up-that's it! I'll look up.
(Terry McDonagh-No Places in the Marshes)

/1/
Langit selalu berdegup dengan hebat dalam jantungku.
Ia jauh namun terasa dekat.
Ia dekat namun terasa jauh.
Jauh di kedalaman diriku
yang tak pernah sanggup untuk kusentuh.

/2/
Setiap akhir adalah mula yang dituliskan oleh waktu.
Orang-orang datang dan pergi,
tetap tinggal atau kembali menjelma mimpi.
Ingatan selalu ingin mencatat hari-hari itu kembali.
Meski kutahu aku tak boleh berkata lagi:
seandainya semua itu terjadi.

/3/
Ingin kubiarkan sunyi menyembunyikanku kembali
di belantara kata
atau tempat di mana mimpiku biasa bersembunyi.
Di jantung ruang itu
aku akan mencatat semuanya kembali:
doa dan hari-hari depan
yang mesti kita jalani.