PENYIMPANGAN BAHASA DALAM PUISI
Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi ciri satu angkatan periode sastra tertentu. Penyimpangan bahasa tersebut disebabkan bahasa puisi khususnya dan bahasa sastra pada umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menentangnya. (Teeuw, 1983: 4). Penyair melakukan penyimpangan bahasa dalam puisinya tersebut seringkali untuk memberikan daya/kekuatan bentuk pengucapan tertentu dalam puisinya. Selain itu, penyimpangan bahasa juga dilakukan karena penyair kerap merasa, bahwa bahasa konvensional yang sudah ada tidak dapat menjadi medium yang mampu mengungkapkan perasaannya secara tuntas. Sementara di sisi lain, sudah barang tentu melalui puisinya penyair ingin mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara tuntas.
Geoffrey Leech menyebutkan adanya sembilan jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi memiliki sembilan aspek penyimpangan itu, tetapi mungkin hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan pada zaman tertentu. Kesembilan penyimpangan bahasa itu merupakan kumpulan data dari berbagai puisi dalam berbagai kurun waktu tertentu (leech: 1976, 42-52).
1. Penyimpangan Semantis
Sebagaimana yang sudah kita bahas sebelumnya, semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang makna tanda bahasa. Berkaitan tentang ilmu semantik, penyair sering kali mengabaikan aturan semantik dalam puisinya, atau yang dapat disebut juga sebagai penyimpangan semantis. Penyimpangan semantis berarti penyimpangan yang berupa penggunaan kata dalam puisi yang maknanya tidak menunjuk kepada makna aslinya dan satu makna tertentu. Misalnya, ketika seorang penyair menggunakan kata ‘langit’ dalam puisinya, bisa jadi makna ‘langit’ yang ia maksud itu bukan ‘langit’ sebagaimana yang kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Kata ‘langit’ itu bisa merujuk kepada ‘Tuhan’ atau ‘sesuatu/seseorang yang sangat jauh dan sulit dijangkau’.
2. Penyimpangan Fonologis (Bunyi Bahasa)
Untuk kepentingan rima, penyair sering melakukan penyimpangan bunyi. Sebagai contoh, dalam puisinya yang berjudul “Yang Terampas dan Putus”, Chairil Anwar menggunakan kata ‘menggigir’ untuk menggantikan kata ‘menggigil’. Ia melakukan penyimpangan dengan mengubah bunyi /l/ dalam kata ‘menggigil’ menjadi bunyi /r/ sehingga menjadi ‘menggigir’
“Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin” (Yang Terampas dan Yang Putus)
3. Penyimpangan Morfologis (Pembentukan Kata)
Penyair sering kali juga tidak mengindahkan aturan morfologis (pembentukan kata) untuk memberi daya/kekuatan tertentu dalam bentuk pengucapan puisinya. Sebagai contoh akan saya kutip puisi Balada Sumillah karya W.S. Rendra di bawah ini.
“bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan
ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya”
(Balada Sumilah)
Dalam kutipan puisi tersebut, Rendra menggunakan kata ‘ngusapi’ dan ‘nepuki’ yang sebenarnya secara morfologis tidak tepat. Penggunaan yang tepat adalah ‘ mengusapi’ yang dibentuk dari kata dasar ‘usap’ + imbuhan ‘me-i’ dan kata ‘menepuki’ yang terbentuk dari kata dasar ‘tepuk’ + imbuhan ‘me-i’.
4. Penyimpangan Sintaksis
Penyimpangan sintaksis ini dapat juga disebut sebagai penyimpangan pola kalimat dalam puisi, dengan catatan perlu diingat bahwa kata-kata dalam puisi tidak membangun kalimat, melainkan baris atau larik.
Penyair kerap mengabaikan aturan pola kalimat dalam kaidah bahasa. Sebagai contoh saya kutip puisi Chairil Anwar yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” di bawah ini.
“Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali”
Pada kutipan puisi di atas Chairil menggunakan frase ‘ini kali’ yang sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Penggunaan yang tepat seharusnya ‘kali ini’ karena bahasa Indonesia memiliki pola diterangkan-menerangkan.
Berkaitan tentang pola diterangkan-menerangkan ini saya akan megambil contoh berikut.
Contoh: yang benar adalah “kucing hitam”, bukan “hitam kucing”. Kata yang lebih dulu disebut adalah ‘kucing’ (sesuatu yang diterangkan), baru kemudian diikuti oleh kata ‘hitam’ (sesuatu yang menerangkan kata ‘kucing’ itu—yang menerangkan bahwa kucing itu berwarna hitam).
Hal ini berbanding terbalik dengan kaidah bahasa Inggris yang memiliki pola menerangkan-diterangkan. Sebagai contoh, yang benar adalah “black cat”, bukan “cat black”.
5. Penyimpangan Leksikal
Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: ngiau, pepintu, leluka, sepisaupi.
Sebagai contoh adalah puisinya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Sepisaupi”.
“sepisaupa, sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi”
6. Penggunaan Dialek
Melalui puisinya, penyair ingin mengungkapkan isi hatinya dengan tuntas. Akan tetapi, seringkali penyair merasa bahasa Indonesia tidak mampu mewakili perasaannya secara tuntas, yang membuat penyair itu “terpaksa” menggunakan kosa kata bahasa daerahnya untuk mengungkapkan suatu perasaan/emosi tertentu. Sebagai contoh akan saya kutip puisi F. Aziz Manna yang berjudul “Jumpritan” dan puisi Wiji Thukul yang berjudul “Nyanyian Abang Becak” di bawah ini.
“lengan pun melimbang dari tiang ke pegangan. dari yang satu ke yang ragam.
bonda-bendi sing ketiban dadi”. dia yang telah ditunjuk mengincim kami.
mengejar ke mana pun pergi”
(Jumpritan)
“jika harga minyak mundhak
simbok semakin ajeg berkelahi sama bapak”
(Nyanyian Abang Becak)
7. Penggunaan Register.
Penyimpangan ini berupa penggunaan ragam bahasa atau istilah yang digunakan kelompok profesi tertentu dalam masyarakat. Misalnya dalam kelompok profesi supir angkot di daerah Jabodetabek terdapat istilah “sewa” yang berarti penumpang, “bongkaran” yang berarti penumpang dalam jumlah banyak, atau istilah “empat enam” yang mengacu pada bangku di angkot yang muat 6 orang untuk di bangku sebelah kanan dan 4 orang untuk di bangku yang sebelah kiri.
Penyair seringkali menggunakan register (dialek profesi) ini untuk menguatkan latar puisi yang temanya berkaitan dengan profesi tertentu itu.
8. Penyimpangan Historis
Adalah bentuk penyimpangan yang menggunakan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari seperti kata jenawi, ripuh, bonda, dewangga, lampus dan sebagainya.
Sebagai contoh adalah kutipan dari tulisan pembuka dalam kumpulan puisi “Nyanyi Sunyi” karya Amir Hamzah di bawah ini yang mengunakan kata “lampus”.
Sunyi itu luka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
9. Penyimpangan Grafologis
Penyimpangan grafologis adalah penyimpangan yang berupa tidak digunakannya tanda baca atau penggunaan huruf kapital sebagaimana mestinya dalam puisi.
Sebagai contoh akan saya kutip secara penuh puisi “Playon” karya F. Aziz Manna yang mana terdapat penyimpangan grafologis di dalamnya. Ia tidak menggunakan huruf kapital di setiap akhir baris yang dibubuhi tanda titik.
Kutipan puisi ini juga sekaligus menutup materi tentang “Penyimpangan Bahasa dalam Puisi” kali ini.
Akhir kata, semoga bermanfaat, dan selamat menikmati puisinya.
Salam.
PLAYON
garis awal, garis pintu, satu kaki di depan, satu di belakang.
kepala lurus, angin bersidorong. yang lalu lintaslah, yang lintas
lalulah. garis jalan, garis belokan, satu kaki membumi,
satu kaki mengawang, kepala lurus, angin bersidorong.
yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah. garis akhir, garis pintu
satu kaki di dalam, satu kaki di luar, kepala lurus, angin bersidorong.
yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah. debu dan keringat
lengket, pikiran sekosong ceret, garis hablur terseret,
angin bersidorong. yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah.
(F. Aziz Manna)
*Sumber Pustaka Materi: Buku “Teori dan Apresiasi Puisi” karya Herman J. Waluyo.
Note:
Perlu kita ketahui sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan “penyimpangan bahasa” dalam materi ini bukanlah merupakan suatu hal yang salah, melainkan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh penyair untuk memperkuat daya puisi yang ditulis olehnya.
Ada beberapa alasan mengapa penyair melakukan penyimpangan bahasa dalam puisinya. Di antara beberapa alasan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Untuk memperkuat daya puisi
2. Untuk mencapai bentuk pengucapan tertentu yang diinginkan
3. Untuk mencapai keselarasan rima
Selain itu, penyimpangan bahasa juga dilakukan oleh penyair karena ia kerap merasa, bahwa bahasa konvensional yang sudah ada tidak dapat menjadi medium yang mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara tuntas serta memuaskan jiwanya.
Demikian pengantar materi ini saya sampaikan.
Btw teman-teman juga bisa menggunakan penyimpangan bahasa ini sebagai salah satu jurus dalam menulis puisi ke depannya.
Akhir kata, semoga bermanfaat.
Dan bagi teman-teman yang ingin bertanya silakan. Akan saya coba jawab semampu saya.
Terima kasih..