Selasa, 12 Desember 2017

Memoar

If I lose my sense of place 
and my way in the wind,
I'll look up-that's it! I'll look up.
(Terry McDonagh-No Places in the Marshes)

/1/
Langit selalu berdegup dengan hebat dalam jantungku.
Ia jauh namun terasa dekat.
Ia dekat namun terasa jauh.
Jauh di kedalaman diriku
yang tak pernah sanggup untuk kusentuh.

/2/
Setiap akhir adalah mula yang dituliskan oleh waktu.
Orang-orang datang dan pergi,
tetap tinggal atau kembali menjelma mimpi.
Ingatan selalu ingin mencatat hari-hari itu kembali.
Meski kutahu aku tak boleh berkata lagi:
seandainya semua itu terjadi.

/3/
Ingin kubiarkan sunyi menyembunyikanku kembali
di belantara kata
atau tempat di mana mimpiku biasa bersembunyi.
Di jantung ruang itu
aku akan mencatat semuanya kembali:
doa dan hari-hari depan
yang mesti kita jalani.

Sabtu, 18 November 2017

MENGGALI SEGALA KEMUNGKINAN DALAM KETIDAKBEBASAN

     Saya membaca sebuah esai karya Jamal D. Rahman beberapa bulan yang lalu. Esai tersebut berjudul “Puisi, Setelah Kebebasan”. Di dalam esainya tersebut, penyair yang juga pimpinan redaksi majalah sastra Horison ini mengajak kita untuk menengok kembali bentuk puisi lama seperti pantun, syair, gurindam, dan lainnya—di tengah maraknya puisi-puisi Indonesia saat ini yang bercorak puisi bebas. Apa yang disampaikan oleh Jamal D. Rahman ini begitu menarik hati saya—dan kemudian mengilhami saya untuk membuat tulisan ini.
Pada bagian awal esai tersebut, Jamal D. Rahman mengulas sebuah pernyataan dari Berthold Damshäuser (dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn, Jerman) yang membahas perihal perkembangan puisi Indonesia saat ini. Berthold Damshäuser mengatakan, bahwa kebanyakan puisi Indonesia saat ini merupakan prosa, atau bisa dibilang mengandung unsur prosa yang kental. Cenderung sulit menemukan puisi Indonesia dewasa ini yang mengeksplorasi keindahan rima dan larik yang teratur lagi ketat, serta mengandung unsur musikalitas kata yang kuat—yang secara teknis dapat disebut sebagai sajak. Meskipun banyak dari puisi-puisi itu memiliki bentuk yang berlarik-larik, namun corak kata-kata yang menyusunnya lebih menyerupai prosa. Singkatnya, Berthold mengatakan bahwa ia merindukan puisi Indonesia yang bukan prosa. Ia merindukan sajak.
Kerinduan Berthold akan puisi Indonesia yang berbentuk sajak ini kiranya dapat kita pahami. Pada kenyataannya, memang amat mudah menemukan puisi bebas dalam perpuisian Indonesia saat ini. Sebaliknya, relatif sulit menemukan puisi bersajak yang memiliki larik dan rima yang teratur lagi ketat, serta mengandung unsur musikalitas kata yang kuat.  
Suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa puisi bebas saat ini memang menjadi pilihan banyak penulis. Bentuknya yang bebas itu dianggap lebih memungkinkan bagi kita untuk melakukan berbagai eksplorasi. Lain halnya dengan puisi lama yang tidak bebas dan terikat oleh aturan baku sebagaimana pantun dan syair.
Lantas, apakah benar puisi lama yang tidak bebas dan banyak aturan itu tidak dapat kita eksplorasi serta gali-korek sedalam-dalamnya lagi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari sama-sama kita simak terlebih dahulu kutipan teks berikut.

/1/
Hutan bayang rimbanya sakti
Layang-layang di Gondangdia
Karena sujud dalam hati
Bayang-bayang kusangka dia

Layang-layang di Gondangdia
Ambil mengkudu di pohon kapas
Bayang-bayang kusangka dia
Hati rindu belumlah lepas

(Pantun Melayu, Balai Pustaka: 2008)

Sebagaimana kita ketahui bersama, teks di atas merupakan sebuah pantun, salah satu bentuk puisi lama yang terkenal dan tersebar di wilayah Nusantara. Kita dapat mengetahuinya  berdasarkan  bentuk dan pola  yang digunakannya: menggunakan rima a-b-a-b, mengandung sampiran dan isi, serta mematuhi aturan jumlah bait, baris, kata, dan suku kata. 
         Sekarang, mari kita simak kembali sebuah kutipan teks berikut ini. 

/2/
3 PANTUN TAK TUNTAS

Telah membusuk setangkai sirih
Kupetik pada cuaca yang salah
Telah kautusuk: sehunus pedih
Ketika kau berbisik: “aku telah …”

Sebelah pinang sekerat kenang
Engkau sirih yang terkunyah
Sembunyi di gelap selapis bayang
Aku bertanya: “engkaukah …”

Berkanvas sirih engkau kulukis
Berkuas jemari kulakar tatapku
Bergegas sisa-sisa dengus kukais
Sebelum nafas habis, lalu …

Puisi di atas yang berjudul “3 Pantun Tak Tuntas” tersebut saya kutip dari buku tentang tips menulis puisi berjudul “Menapak ke Puncak Sajak” karya Hasan Aspahani. Sayangnya dalam buku itu tidak dicantumkan nama penulis puisinya siapa. Barangkali penulisnya adalah Hasan Aspahani sendiri.
Puisi “3 Pantun Tak Tuntas” itu adalah contoh bagaimana sebuah pantun dapat dieksplorasi sedemikian rupa. Bagaimana bahasa dari khazanah pantun lama tetap dipertahankan, akan tetapi di sisi lain suasana baru juga terbangkitkan. Kita pun dapat membandingkan antara teks 1 dan 2 corak diksinya memiliki warna yang cenderung sama. Baris terakhir dalam tiap bait “3 Pantun Tak Tuntas” ini memang tidak tuntas kalimatnya, sebagaimana yang tersirat pada judulnya, namun rimanya  a-b-a-b sebagaimana pantun pada umumnya. 
Bagi saya pribadi, puisi “3 Pantun Tak Tuntas” ini menunjukkan kecerdikan dan kekreatifan si penulis dalam mengeksplorasi pantun yang tidak bebas dan banyak aturan itu. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa dalam ketidakbebasan pun kita masih bisa menggali berbagai kemungkinan. Puisi ini contohnya. Sebuah puisi yang menggunakan bentuk dan pola pantun, namun diakal-akali sedemikian rupa sehingga mampu menampilkan sesuatu yang lama tapi baru, atau dengan kata lain menyajikan sesuatu yang lama dengan cara yang baru.
Berdasarkan contoh kutipan teks di atas, maka dapat kita katakan, bahwa bentuk puisi lama yang tidak bebas dan banyak aturan itu ternyata masih bisa kita eksplorasi serta gali-korek sedalam-dalamnya—dan itu adalah tantangan yang sangat mengasyikkan!
Mengapa saya katakan itu sebagai sebuah tantangan yang mengasyikkan? Hal itu karena kita seperti diajak untuk bereksperimen, mengotak-atik suatu bentuk yang sudah ada, memilah-milah mana yang mesti dipertahankan, mana yang mesti ditanggalkan, sampai kita dapat menemukan suatu formula atau cara untuk menulis yang rasa-rasanya pas bagi kita—untuk menyampaikan segenap pikiran dan perasaan kita.
Di samping pantun, bentuk puisi lama yang cukup masyhur di wilayah Nusantara adalah gurindam, yakni bentuk puisi yang terpengaruh oleh budaya sastra India yang biasanya berisi nasihat dan filosofi hidup. Pengarang gurindam yang terkenal adalah Raja Ali Haji, saudara sepupu Raja Ali yang menjadi raja di Riau (1844-1857). Raja Ali Haji terkenal dengan karyanya yakni “Gurindam Dua Belas”. Berikut ini akan saya kutipkan potongan gurindam dua belas karya Raja Ali Haji.

Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat

Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru
(Gurindam Dua Belas Pasal 6)

Beberapa tahun yang lalu, penyair Hasan Aspahani juga pernah menulis sebuah puisi yang ia beri judul “Gurindam”. Puisi ini kemudian menjadi salah satu puisi yang terpilih sebagai “60 Puisi Terbaik Indonesia 2009” dalam anugerah sastra Pena Kencana. Sebagai perbandingan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, ini akan saya kutipkan juga penggalan puisi Hasan Aspahani tersebut.

Kamus bukan samudra, juga bukan luas angkasa
Kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.

Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata
Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa

Di manakah rumah paling nyaman bagi kata?
Pada sajak, bukan kamus, bukan bicara.
(Hasan Aspahani, Gurindam)

Mari kita bandingkan antara Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji dengan puisi “Gurindam” yang ditulis oleh Hasan Aspahani. Adakah perbedaan yang kita temui antara keduanya? Dari segi pola, praktis tidak ada perbedaan antara kedua teks tersebut. Keduanya sama-sama patuh terhadap aturan gurindam seperti jumlah baris tiap bait, jumlah kata dalam tiap baris. Jika ada yang sedikit berbeda, maka itu adalah perihal isinya. Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji berisi tentang nasihat kehidupan sebagaimana gurindam pada umumnya. Puisi “Gurindam” karya Hasan Aspahani pun sebenarnya sama: berisi nasihat. Hanya saja dalam “Gurindam” karya Hasan Aspahani nasihatnya berkaitan seputar menulis sajak. Itu saja perbedannya.
Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Hasan Aspahani dalam puisi “Gurindam” ini merupakan suatu usaha yang layak untuk kita tiru. Ia berhasil mengolah kembali bentuk gurindam secara kreatif, dengan asyiknya mengeksplorasi suatu bentuk yang sudah baku dengan cara yang baru.
Kita pun juga bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Hasan Aspahani tersebut. Kita bisa menirunya. Bukanlah suatu hal yang salah apabila kita mencoba menengok kembali berbagai bentuk puisi lama dalam menulis puisi—di samping kita menulis puisi bebas. Kemudian kita juga dapat mengotak-atik bentuk-bentuk tersebut, mengeksplorasinya sekreatif mungkin,  untuk menemukan bentuk yang kita rasa paling pas untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kita. 
Sebelum saya akhiri, saya ingin menyampaikan, bahwa apa yang saya tulis di sini adalah sekadar ajakan untuk kita menengok kembali bentuk-bentuk puisi lama. Bukan bermaksud menyatakan bahwa puisi yang bersajak lebih baik dari pada puisi bebas atau puisi prosais, pun sebaliknya. Tulisan ini sekadar ajakan. Barangkali dengan kita meninjau kembali bentuk puisi lama, kita dapat memelajari perangkat-perangkat puitiknya untuk berlatih menulis, mengolahnya kembali dengan sekreatif mungkin, yang pada akhirnya berdampak pada semakin variatif dan kuatnya kemampuan menulis puisi kita. Kita bisa menulis puisi bebas saat kita sedang ingin menulis puisi bebas. Kita pun bisa menulis puisi bercorak puisi lama seperti pantun atau syair saat kita sedang ingin menulis dalam bentuk tersebut. Satu hal yang paling penting adalah terus menulis saja. Terus berusaha menggali segala kemungkinan dalam menulis—baik dalam kebebasan, maupun dalam ketidakbebasan.

Tanjung Priok, 18 November 2017

Rabu, 01 November 2017

Penyimpangan Bahasa dalam Puisi

PENYIMPANGAN BAHASA DALAM PUISI

     Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi ciri satu angkatan periode sastra tertentu. Penyimpangan bahasa tersebut disebabkan bahasa puisi khususnya dan bahasa sastra pada umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menentangnya. (Teeuw, 1983: 4). Penyair melakukan penyimpangan bahasa dalam puisinya tersebut seringkali untuk memberikan daya/kekuatan bentuk pengucapan tertentu dalam puisinya. Selain itu, penyimpangan bahasa juga dilakukan karena penyair kerap merasa, bahwa bahasa konvensional yang sudah ada tidak dapat menjadi medium yang mampu mengungkapkan perasaannya secara tuntas. Sementara di sisi lain, sudah barang tentu melalui puisinya penyair ingin mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara tuntas.
        Geoffrey Leech menyebutkan adanya sembilan jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi memiliki sembilan aspek penyimpangan itu, tetapi mungkin hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan pada zaman tertentu. Kesembilan penyimpangan bahasa itu merupakan kumpulan data dari berbagai puisi dalam berbagai kurun waktu tertentu (leech: 1976, 42-52).

1. Penyimpangan Semantis
      Sebagaimana yang sudah kita bahas sebelumnya, semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang makna tanda bahasa. Berkaitan tentang ilmu semantik, penyair sering kali mengabaikan aturan semantik dalam puisinya, atau yang dapat disebut juga sebagai penyimpangan semantis. Penyimpangan semantis berarti penyimpangan yang berupa penggunaan kata dalam puisi yang maknanya tidak menunjuk kepada makna aslinya dan satu makna tertentu. Misalnya, ketika seorang penyair menggunakan kata ‘langit’ dalam puisinya, bisa jadi makna ‘langit’ yang ia maksud itu bukan ‘langit’ sebagaimana yang kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Kata ‘langit’ itu bisa merujuk kepada ‘Tuhan’ atau ‘sesuatu/seseorang yang sangat jauh dan sulit dijangkau’.

2. Penyimpangan Fonologis (Bunyi Bahasa)
       Untuk kepentingan rima, penyair sering melakukan penyimpangan bunyi. Sebagai contoh, dalam puisinya yang berjudul “Yang Terampas dan Putus”, Chairil Anwar menggunakan kata ‘menggigir’ untuk menggantikan kata ‘menggigil’. Ia melakukan penyimpangan dengan mengubah bunyi /l/ dalam kata ‘menggigil’ menjadi bunyi /r/ sehingga menjadi ‘menggigir’
“Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin” (Yang Terampas dan Yang Putus)

3. Penyimpangan Morfologis (Pembentukan Kata)
    Penyair sering kali juga tidak mengindahkan aturan morfologis (pembentukan kata) untuk memberi daya/kekuatan tertentu dalam bentuk pengucapan puisinya. Sebagai contoh akan saya kutip puisi Balada Sumillah karya W.S. Rendra di bawah ini.

“bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan
ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya”
(Balada Sumilah)

Dalam kutipan puisi tersebut, Rendra menggunakan kata ‘ngusapi’ dan ‘nepuki’ yang sebenarnya secara morfologis tidak tepat. Penggunaan yang tepat adalah ‘ mengusapi’ yang dibentuk dari kata dasar ‘usap’ +  imbuhan ‘me-i’ dan kata ‘menepuki’ yang terbentuk dari kata dasar ‘tepuk’ + imbuhan ‘me-i’.

4. Penyimpangan Sintaksis
          Penyimpangan sintaksis ini dapat juga disebut sebagai penyimpangan pola kalimat dalam puisi, dengan catatan perlu diingat bahwa kata-kata dalam puisi tidak membangun kalimat, melainkan baris atau larik.
Penyair kerap mengabaikan aturan pola kalimat dalam kaidah bahasa. Sebagai contoh saya kutip puisi Chairil Anwar yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” di bawah ini.

“Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali”

Pada kutipan puisi di atas Chairil menggunakan frase ‘ini kali’ yang sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Penggunaan yang tepat seharusnya ‘kali ini’ karena bahasa Indonesia memiliki pola diterangkan-menerangkan.
Berkaitan tentang pola diterangkan-menerangkan ini saya akan megambil contoh berikut.

Contoh: yang benar adalah “kucing hitam”, bukan “hitam kucing”. Kata yang lebih dulu disebut adalah ‘kucing’ (sesuatu yang diterangkan), baru kemudian diikuti oleh kata ‘hitam’ (sesuatu yang menerangkan kata ‘kucing’ itu—yang menerangkan bahwa kucing itu berwarna hitam).
Hal ini berbanding terbalik dengan kaidah bahasa Inggris yang memiliki pola menerangkan-diterangkan. Sebagai contoh, yang benar adalah “black cat”, bukan “cat black”.

5. Penyimpangan Leksikal
           Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: ngiau, pepintu, leluka, sepisaupi.
Sebagai contoh adalah puisinya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Sepisaupi”.

“sepisaupa, sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi”

6. Penggunaan Dialek
          Melalui puisinya, penyair ingin mengungkapkan isi hatinya dengan tuntas. Akan tetapi, seringkali penyair merasa bahasa Indonesia tidak mampu mewakili perasaannya secara tuntas, yang membuat penyair itu “terpaksa” menggunakan kosa kata bahasa daerahnya untuk mengungkapkan suatu perasaan/emosi tertentu. Sebagai contoh akan saya kutip puisi F. Aziz Manna yang berjudul “Jumpritan” dan puisi Wiji Thukul yang berjudul “Nyanyian Abang Becak” di bawah ini.

“lengan pun melimbang dari tiang ke pegangan. dari yang satu ke yang ragam.
bonda-bendi sing ketiban dadi”. dia yang telah ditunjuk mengincim kami.
mengejar ke mana pun pergi”
(Jumpritan)

“jika harga minyak mundhak
simbok semakin ajeg berkelahi sama bapak”
(Nyanyian Abang Becak)

7. Penggunaan Register.
           Penyimpangan ini berupa penggunaan ragam bahasa atau istilah yang digunakan kelompok profesi tertentu dalam masyarakat. Misalnya dalam kelompok profesi supir angkot di daerah Jabodetabek terdapat istilah “sewa” yang berarti penumpang, “bongkaran” yang berarti penumpang dalam jumlah banyak, atau istilah “empat enam” yang mengacu pada bangku di angkot yang muat 6 orang untuk di bangku sebelah kanan dan 4 orang untuk di bangku yang sebelah kiri.
Penyair seringkali menggunakan register (dialek profesi) ini untuk menguatkan latar puisi yang temanya berkaitan dengan profesi tertentu itu.

8. Penyimpangan Historis
           Adalah bentuk penyimpangan yang menggunakan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari seperti kata jenawi, ripuh, bonda, dewangga, lampus dan sebagainya.
Sebagai contoh adalah kutipan dari tulisan pembuka dalam kumpulan puisi “Nyanyi Sunyi” karya Amir Hamzah di bawah ini yang mengunakan kata “lampus”.

Sunyi itu luka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

9. Penyimpangan Grafologis
           Penyimpangan grafologis adalah penyimpangan yang berupa tidak digunakannya tanda baca atau penggunaan huruf kapital sebagaimana mestinya dalam puisi.
Sebagai contoh akan saya kutip secara penuh puisi “Playon” karya F. Aziz Manna yang mana terdapat penyimpangan grafologis di dalamnya. Ia tidak menggunakan huruf kapital di setiap akhir baris yang dibubuhi tanda titik.
Kutipan puisi ini juga sekaligus menutup materi tentang “Penyimpangan Bahasa dalam Puisi” kali ini.
Akhir kata, semoga bermanfaat, dan selamat menikmati puisinya.
Salam.

PLAYON

garis awal, garis pintu, satu kaki di depan, satu di belakang.
kepala lurus, angin bersidorong. yang lalu lintaslah, yang lintas
lalulah. garis jalan, garis belokan, satu kaki membumi,
satu kaki mengawang, kepala lurus, angin bersidorong.
yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah. garis akhir, garis pintu
satu kaki di dalam, satu kaki di luar, kepala lurus, angin bersidorong.
yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah. debu dan keringat
lengket, pikiran sekosong ceret, garis hablur terseret,
angin bersidorong. yang lalu lintaslah, yang lintas lalulah.

(F. Aziz Manna)

*Sumber Pustaka Materi: Buku “Teori dan Apresiasi Puisi” karya Herman J. Waluyo.


Note:
Perlu kita ketahui sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan “penyimpangan bahasa” dalam materi ini bukanlah merupakan suatu hal yang salah, melainkan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh penyair untuk memperkuat daya puisi yang ditulis olehnya.
Ada beberapa alasan mengapa penyair melakukan penyimpangan bahasa dalam puisinya. Di antara beberapa alasan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Untuk memperkuat daya puisi
2. Untuk mencapai bentuk pengucapan tertentu yang diinginkan
3. Untuk mencapai keselarasan rima

Selain itu, penyimpangan bahasa juga dilakukan oleh penyair karena ia kerap merasa, bahwa bahasa konvensional yang sudah ada tidak dapat menjadi medium yang mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara tuntas serta memuaskan jiwanya.
Demikian pengantar materi ini saya sampaikan.
Btw teman-teman juga bisa menggunakan penyimpangan bahasa ini sebagai salah satu jurus dalam menulis puisi ke depannya.
Akhir kata, semoga bermanfaat. 
Dan bagi teman-teman yang ingin bertanya silakan. Akan saya coba jawab semampu saya.
Terima kasih..

Sabtu, 02 September 2017

Laut Tua Ini Seperti Ingin Bercerita

Laut tua ini seperti ingin bercerita
tetapi aku tak memahami bahasa laut.
Aku hanya bisa merasakan gemuruh ombaknya
mendenyutkan rindu yang tak pernah surut.

Laut tua ini seperti ingin bercerita
lewat malam yang merawat dongeng-dongeng purba
tentang rasi dan galaksi nun jauh di sana,
muasal segala impian anak manusia.

Laut tua ini seperti ingin bercerita
lewat debur gelombang yang membasuh kaki dermaga
tentang angin musim yang mengalunkan doa-doa
dan namamu yang tersembunyi di kedalaman rahasia.

(2016)
Dimas Albiyan

*Puisi ini pernah dimuat di majalah sastra dan budaya Kanal Vol. III Edisi V, April 2017 

Kamis, 03 Agustus 2017

Istiqlal

Senja tergelar di serambi Istiqlal.
Tiba kembali di tempat ini,
menikmati mahakarya Frederich Silaban,
masjid yang dibangun di atas reruntuhan benteng kolonial.
Sesekali terlihat juga burung lintas di udara
dalam lanskap awan dan langit di selatan.
Kududuk di sini menuguri waktu senja.
Menanti maghrib membentang di langit ibukota.


(Dimas Albiyan)


Minggu, 02 Juli 2017

Wiji Thukul dan Kata-kata yang Tak Kunjung Binasa

“Setiap kali kepala seorang sastrawan dipenggal, kebenaran dalam sastra itu akan menitis ke kepala seribu sastrawan lain.” (Seno Gumira Ajidarma)
“Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa.” (Wiji Thukul)

      Wiji Thukul adalah sosok yang menarik dalam sejarah kesusastraan maupun perpolitikan di Indonesia. Sebagai seorang penyair, ia mungkin bukan yang paling cemerlang dalam dunia perpuisian di negeri ini. Akan tetapi sejarah telah mencatat namanya, sebagai seorang penyair sekaligus aktivis yang ikut berjuang melawan tindak kesewenang-wenangan sebuah rezim yang pernah berkuasa di negeri ini.
    Puisi-puisinya berkarakter khas: lugas, berani, dan mudah dipahami. Alih-alih berbicara tentang keindahan atau romantisme, puisi-puisi Wiji Thukul justru berbicara tentang kehidupan rakyat kecil, kemiskinan, perlawanan terhadap penindasan, dan persoalan hidup sehari-hari yang mungkin kerap luput dari pandangan kita.  
Wiji Thukul memang berasal dari keluarga rakyat kecil yang hidupnya lekat dengan kemiskinan. Ia tumbuh di Kampung Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang rongsokan. Sementara Thukul sendiri pernah bekerja sebagai pelitur mebel.[1] Rupanya pengalaman hidup Thukul yang lekat dengan kemiskinan dan masyarakat lapisan bawah inilah yang lambat-laun mengendap dalam dirinya, dan kemudian ia tuangkan ke dalam puisi-puisinya.
Thukul muda tumbuh di tengah kekuasaan sebuah rezim bernama Orde Baru. Sebuah rezim otoriter, yang mana pada masanya kebebasan berpendapat menjadi suatu hal yang sangat mahal.  Demokrasi dibungkam, sementara praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merajalela di mana-mana. Kondisi negeri yang memperihatinkan ini bahkan juga diikuti oleh tindak kekerasan yang kerap dilakukan oleh militer terhadap rakyat sipil. Mari kita ingat kembali tragedi Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, dan kasus Marsinah. Kondisi sosial negara seperti inilah yang menumbuhkan benih kesadaran dalam diri Thukul untuk melawan segala bentuk tindak kesewenangan itu.  Kesadaran yang kemudian juga diikuti dengan lahirnya sejumlah puisi Thukul yang memotret tentang kemiskinan, penindasan, ekploitasi buruh di pabrik, ketidakadilan hukum, tindakan represif penguasa, dan kekerasan militer terhadap rakyat sipil.
Wiji Thukul tidak sekedar berjuang melalui kata-kata. Bersama kelompok seninya, ia juga kerap menggelar pementasan teater yang mengekspresikan penindasaan dan problem riil masyarakat. Intensitas keterlibatannya dalam berbagai aksi protes juga semakin tinggi. Represi pun mulai meningkat. Tak jarang pentas-pentas teaternya dibubarkan oleh aparat. Rumahnya beberapa kali digeledah. Bahkan, dalam sebuah aksi protes buruh P.T. Sritex di Solo pada tahun 1995, ia mengalami siksaan berat dari aparat sampai telinganya nyaris tuli dan matanya sempat dioperasi.[2] Kala itu aparat mengincar Thukul karena ia diduga sebagai dalang demonstrasi tersebut. Segala bentuk tindakan represi yang Thukul terima itu ternyata tidak membuat semangat perlawanannya menjadi surut. Sebaliknya, itu semua justru membuat keyakinannya semakin kuat untuk melawan segala tindak kesewenangan yang telah ia saksikan dan alami sendiri.
Melalui aksi protes dan puisi-puisinya, Wiji Thukul telah memilih jalan hidupnya sendiri, yakni berjuang melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap rakyatnya. Sebuah pilihan yang akhirnya membuat ia mendapatkan cap sebagai musuh penguasa dan dianggap sebagai pemberontak. Tentu ini sebuah pilihan yang tak mudah, yang juga harus dibayar mahal olehnya. Ia lantas menjadi korban praktik penghilangan orang. Bersama dengan sejumlah aktivis lainnya, ia menjadi korban penculikan pada tahun 1998 yang dilakukan oleh rezim kala itu.
Wiji Thukul sendiri sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, entah masih hidup atau tidak. Jika dikatakan sudah meninggal, sampai sekarang jasadnya pun belum diketemukan. Ia dilaporkan hilang oleh istrinya, Sipon, setelah tragedi krisis 1998. Banyak kerabat Thukul yang yakin, bahwa Thukul sudah dilenyapkan oleh rezim Orde Baru, yang kadung mencapnya sebagai seorang musuh yang dianggap hendak menjatuhkan penguasa.
Akhirnya, keberadaan Wiji Thukul hingga saat ini terus menjadi misteri yang tak terungkapkan. Usaha pemerintah untuk mengungkap kasus yang melibatkan Thukul sebagai korban itu pun tak jua dilakukan. Thukul hilang meninggalkan istrinya, Sipon dan dua orang anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah.
“Setiap kali kepala seorang sastrawan dipenggal, kebenaran dalam sastra itu akan menitis ke kepala seribu sastrawan lain," begitu ujar Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan esainya, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Barangkali hal yang demikian ini terjadi pada diri Wiji Thukul. Jasad Thukul boleh dilenyapkan, akan tetapi karya dan semangat perlawanannya terus hidup hingga saat ini. Ia terus menitis ke kepala setiap orang yang mengkhidmati puisi-puisinya dan meresapi perjuangannya. Dengan kata lain, Wiji Thukul terus tumbuh dan tetap utuh, seperti yang pernah ia katakan dalam sebuah puisinya: “Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa!"

Tanjung Priok, 1 Juli 2017
Dimas Albiyan




      [1]   Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10.
    [2] Ihs, ”Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, (Jakarta: Pembebasan Edisi 18/V/Juli 2000), h.20  

Rabu, 07 Juni 2017

Malahayati

Di Teluk Lamreh Krueng Raya,
dengan gagah
Puan jaga bumi darussalam tercinta.
Laut Malaka pun berkobar
dalam jiwa bahari Puan
menanti penjajah menyerang di hadapan.

Bergelar laksamana,
Puan adalah kemala kehidupan.
Di belakang Puan,
pekik 2000 prajurit inong balee
isyaratkan geletar pertempuran.

“Ayo! Serang lawan!!!”
Dengan rencong di tangan,
pekik Puan memekakkan arena perang.

Maka angkasa pun gemetar
hingga tersiarlah sebuah kabar
ihwal armada musuh yang menggelepar
dengan pemimpin mereka
yang tewas terbunuh di geladak kapal.

Di bumi darussalam tercinta,
Puan membaktikan diri,
mengabdi
atas nama rakyat, tanah air, dan leluhur di surga.
Puan membaktikan diri,
mengabdi
dengan sepenuh cinta
seharum bunga cempaka.

Dimas Albiyan
20 April 2014

*Laksamana Malahayati:
Nama lengkapnya adalah Keumalahayati. Beliau adalah perempuan pejuang sekaligus perempuan pertama yang diangkat menjadi laksamana di Kesultanan Aceh Darussalam,  serta memimpin 2000 prajurit Inong Balee. Pada Juni 1599, di Aceh  terjadi pertempuran antara Kesultanan Aceh dengan armada Belanda yang dimpin oleh Cornelis De Houtman. Kala itu Laksamana Malahayati ditunjuk sebagai pemimpin perlawanan yang berujung pada kemenangan Kesultanan Aceh dan kekalahan armada Belanda yang disertai dengan terbunuhnya Cornelis De Houtman.
**Teluk Lamreh Krueng Raya: Pangkalan militer Laksamana Malahayati beserta armada perangnya.
***Inong Balee: Armada perang yang dipimpin oleh Laksamana Malahayati yang beranggotakan 2000 prajurit perempuan.


Selasa, 30 Mei 2017

Puisi "White Fields" Karya James Stephens (Terjemahan)

James Stephens

WHITE FIELDS 

Tibalah musim dingin, aku pergi 
berjalan menyusuri padang salju yang sunyi. 

Tak sehelai rumput hijau terlihat. 
Di atas kepala, langit adalah dinding yang likat. 

Setiap pohon dan pagar 
terselimuti warna putih yang tegar. 

Terarahkan jalan yang kulalui sewaktu tiba 
−semuanya tampak sama. 

Nun di seberang padang ini 
jejak-jejak keperakanku meniti. 

Aku yakin mama selalu mengenali 
jejak-jejak yang kutinggalkan di atas salju sunyi, 

Mama selalu mengetahui
ke mana anaknya ini akan pergi. 

−Terjemahan oleh Dimas Albiyan−


Catatan:
            Saat sedang iseng membuka kolom catatan Facebook saya beberapa minggu yang lalu, saya menemukan terjemahan puisi ini. Puisi “White Fields” karya James Stephens yang saya coba terjemahkan sekitar tahun 2014. Saya pun jadi teringat, waktu itu, saya memang sedang senang-senangnya belajar menerjemahkan puisi asing setelah membaca salah satu tulisan dari Sapardi Djoko Damono. Saya lupa di mana saya membaca tulisan itu. Saya cuma ingat, di tulisan tersebut, Sapardi kurang-lebih mengatakan, bahwa salah satu cara belajar menulis puisi yang efektif adalah dengan cara menerjemahkan puisi asing.
Maka saya ikuti tips dari beliau itu. Lantas saya pergi ke perpustakaan kampus untuk mencari buku-buku kumpulan puisi berbahasa Inggris dan meminjamnya beberapa buah. Perihal buku-buku kumpulan puisi berbahasa Inggris yang saya pinjam ini saya lupa-lupa ingat. Seingat saya ada antologi puisi Anna Akhmatova (penyair asal Rusia) dan antologi puisi Denmark modern. Kedua buku ini adalah buku terjemahan yang diterjemahkan dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Inggris. Saya juga agak lupa di buku yang mana saya menemukan puisi “White Fields” karya James Stephens ini. Kalau tidak salah sih di sebuah buku yang judulnya American Modern Poems. Ya, kalau tidak salah.
Lantas dengan bermodalkan kemampuan berbahasa Inggris yang pas-pasan dan dibantu dengan sebuah kamus, saya pun mencoba menerjemahkan beberapa puisi berbahasa Inggris dari buku-buku yang saya pinjam itu. Cara saya memilih puisi-puisi mana yang akan saya terjemahkan sederhana saja, yakni puisi yang pendek, kata-katanya tidak terlalu rumit, dan saya suka. Ternyata puisi “White Fields” karya James Stephens ini menjadi salah satu puisi yang memenuhi “kriteria” tersebut, dan saya pun mencoba mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia sebisanya.
Jika dibandingkan antara hasil yang saya coba terjemahkan ini dengan puisi yang asli (yang ditulis dalam bahasa aslinya), maka akan ditemukan cukup banyak perbedaan di antara keduanya. Ada beberapa kata dan baris yang terjemahannya tidak persis sesuai dengan yang asli, beberapa kata saya tukar letaknya, bahkan saya menambahkan satu larik di bagian akhir puisi ini. Semua itu saya lakukan selain karena memang penguasaan bahasa Inggris saya yang kurang memadai, juga karena untuk mengejar bentuk pengucapan dan rima yang menurut saya enak (walaupun mungkin menurut orang yang membacanya tidak).
Di samping dua hal tersebut, ada alasan lain yang membuat saya tetap “nekat” mencoba menerjemahkan puisi “White Fields” ini ke dalam Bahasa Indonesia, meskipun dengan kemampuan yang seadanya dan ada beberapa bagian yang berbeda dengan aslinya. Alasan itu adalah sebuah pernyataan Sapardi dalam bukunya yang berjudul Sastra Bandingan. Di salah satu bab yang membahas seputar penerjemahan karya sastra, Sapardi mengatakan bahwa penerjemahan karya sastra tidak usah dianggap sebagai usaha mati-matian untuk menjadi karya yang sama dengan aslinya (Editum, 2009: h. 96). Pendapat Sapardi itulah yang mendorong saya untuk tetap mencoba menerjemahkan puisi ini sebagai proses belajar menulis puisi meskipun mungkin hasilnya tidak terlalu persis dengan yang aslinya..
Dari proses belajar menerjemahkan ini, saya mendapati sebuah kenyataan, bahwa ternyata proses menerjemahkan puisi asing itu cukup sulit. Saya setuju dengan pendapat bahwa orang yang melakukan penerjemahan karya sastra harus menguasai bahasa sumber dan bahasa target sama baiknya. Di samping itu,  ia juga harus memahami konteks bahasa, sosial, dan budaya yang terkandung dalam karya itu. Dari kedua kriteria di atas sudah jelas bahwa saya sebenarnya sangat tidak layak dan pantas untuk menerjemahkan puisi ini. Tapi yah namanya juga belajar. Terjemahan puisi ini pun bagian dari proses belajar saya itu. Jadi, jika ditemukan banyak kekeliruan dan kekhilafan dalam penerjemahan ini, mohon dimaafkan, ya....
Sebagai penutup, ini saya kutipkan puisi “White Fields” karya James Stephens dalam bahasa aslinya. Menurut saya, puisi ini adalah sebuah puisi yang indah dan merupakan salah satu puisi favorit saya.
Akhir kata, selamat menikmati!
Salam.

-Tj. Priok, 23 Mei 2017-

White Fields
I
In the winter time we go
Walking in the fields of snow;

Where there is no grass at all;
Where the top of every wall,

Every fence, and every tree,
Is as white as white can be.

II
Pointing out the way we came,
-Every one of them the same-

All across the fields there be
Prints in silver filigree;

And our mothers always know,
By the footprints in the snow,

Where it is the children go.