Rabu, 21 Desember 2016

Dua Puisi Saya: Dimuat di Surat Kabar Pikiran Rakyat Edisi 18 Desember 2016

/1/
Bandung, 2016

Ada kesenyapan yang asing
di kota tempatmu tumbuh beranjak
menjadi kupu-kupu dewasa.
Langit dan maghrib berkelindan,
jalanan menjelma sungai cahaya
dalam pelukan musim yang dingin dan muram.
Ada sepatah ucapan “selamat tinggal”
yang ingin namun tak sanggup kuucapkan.
Ada nyeri yang tak tertafsirkan
bermukim di degup jantung yang temaram.
Di jalan pulang, kucatat sunyi ini kembali
yang berkisar antara bayangmu
dan kota yang kian balam.
Di jalan pulang,
di antara muram lampu jalan dan kendaraan,
kusembunyikan rindu ini kembali,
meninggalkan jejakmu jauh di selatan.

/2/
Lagu Musim Sunyi

Musim yang sunyi. 
Langit tenteram di dini hari.
Kau berkata, "tiba waktunya untuk kembali"
entah kepada siapa.
Fajar jauh. Cahaya jauh.
Angin Juni melintas di beranda.
Dan kau masih terjaga,
menafsirkan impian dan keresahan manusia
di antara keheningan kata-kata.






Senin, 05 Desember 2016

Tiga Puisi di Pertemuan Kecil

Tiga puisi ini dimuat di surat kabar Pikiran Rakyat dua tahun yang lalu, tetapi saya baru tahu mengenai pemuatannya dua hari yang lalu, saat melihat sebuah pesan di kotak masuk surel yang belum saya baca.
Pada Minggu siang, saya tengah mencari alamat surel sepupu saya di kotak masuk untuk sebuah keperluan, ketika melihat sebuah pesan yang belum saya baca. Pesan itu ternyata dari redaksi Pikiran Rakyat yang dikirim pada 25 September 2014, dua tahun yang lalu. Isi pesan itu adalah sebuah pemberitahuan, bahwa jika tidak ada halangan, tiga buah puisi saya akan dimuat di surat kabar tersebut pada edisi Minggu, 28 September 2014 dalam rubrik Pertemuan Kecil. Tentu saya terkejut ketika membacanya. Saya pun jadi teringat kalau saya pernah mengirim beberapa puisi ke surat kabar itu sekitar dua tahun yang lalu. Saya mengirimnya lewat surel di sebuah warnet di samping kampus.
  Oleh karena saya penasaran ingin melihat apakah benar ketiga puisi saya dimuat, saya mencoba mencari file PDF surat kabar Pikiran Rakyat edisi 28 September 2014 tersebut di Google, dan alhamdulillah ketemu. Sebagaimana isi pesannya, ketiga puisi itu dimuat di rubrik Pertemuan Kecil, halaman 23.
Bisa melihat puisi yang saya tulis dimuat di koran, saya hanya bisa bersyukur, dan mudah-mudahan ini bisa menjadi pelecut semangat saya untuk terus menulis, dan terus menulis.

***


/1/
Hikayat Mahabrata: Bhisma

Pujangga
titahkan takdir
menjelma anak panah
dalam bidikan dara.

“Amba, kekasihku, aku sudah siap.
Bunuhlah aku sekarang!”

Tetapi dara itu menjadi sedikit ragu.
Ia tatap lekat-lekat
kedua mata Bhisma yang pasrah –
yang ia rasakan seperti sebuah lorong dejavu
atau mungkin sebuah kisah cinta platonik
yang tak pernah tertakdirkan.

“Aku masuki kecamuk Baratayuda ini
memang untuk membunuhmu.
Tetapi maaf, Tuan! Aku bukan Amba,
aku Srikandi!”

Lirih, Bhisma tersenyum,
sedang  dara itu kembali bersiap
membidik anak panahnya
tepat ke arah jantung Bhisma.

“Jika engkau memang benar-benar lupa,
maka kumohon
anggap saja sekarang dirimu adalah Amba kekasihku,
agar aku tenang
menjemput getirnya mautku.
Maafkan aku, Amba,
yang dulu pernah mencampakkanmu!
Maafkan aku!
Sesungguhnya,
aku sangat ..................
.....................................”

Langit Kurusetra
merah dan kelam.
Lirih, Bhisma tersenyum menatap dara
sebelum tubuh rentanya
tumbang.

(2014)


/2/
Hikayat Ramayana: Sinta kepada Rama

Sebab akulah api
maka jangan engkau menyentuhku lagi,
wahai lelaki yang menamakan dirinya suci!

Memang engkaulah
yang telah membebaskan aku dari Dasamuka,
tetapi engkau pula
yang telah memaksakan aku menjelma api
dengan keraguanmu yang menjadi-jadi.

Engkau mencintai aku.
Aku lebih mencintai engkau.
Tapi jangan engkau menyentuhku lagi,
sebab akulah api! 
(2014)


/3/
Percakapan Rama dengan Lesmana

“Akan kutempuh Gunung Reksamuka, Negeri Alengka,
bahkan Nirwana,
untuk kembali bisa menyentuhmu,
Sinta.”

Begitulah,
kesatria itu terus bergumam--
dengan intonasi yang muram
seperti elegi yang kelam

sepanjang malam.
Sementara hutan pun semakin dalam.
Sepotong bulan
adalah lentera yang temaram.

Mereka terus jalan.
“Tapi, Lesmana, wahai adikku,
apakah Sinta masih mau menerimaku,
lelaki peragu yang telah membiarkannya pergi
ke sisi Rahwana?

Dan apakah aku harus mengalahkan Rahwana musuhku,
untuk kembali dalam dekapan Sinta,
sekalipun harus dengan peperangan akbar
yang menumbalkan jutaan nyawa?”

“Maafkanlah kelancanganku, Kanda Ramawijaya,
sesungguhnya,  musuh sejatimu – yang harus kaukalahkan
bukanlah Rahwana,
tetapi tidak lain adalah keragu-raguanmu,

sedang  di sisi lain, Dewi Sinta
tak pernah sedikitpun meragukanmu.”

(2013-2014)



Rabu, 06 Juli 2016

Kwatrin Hari Lebaran

/1/
KWATRIN MENJELANG LEBARAN

Lebaran mulai menyingkapkan semarak sosoknya
di tengah gejolak pemilu yang belum ketemu ujungnya.
Berbondong orang meninggalkan gempita ibukota,
menuju dekapan desa yang nyaman dan bersahaja.

Tj. Priok, 26 Juli 2014

/2/
MALAM TAKBIRAN

Lengkingan takbir menjalar sampai ke sulur-sulur gang,
seusai sidang isbat dan awal Syawal ditetapkan.
Di serambi masjid, anak-anak menabuh beduk dengan riang.
Di rumah, para ibu menyiapkan opor dan ketupat lebaran.

/3/
KWATRIN HARI LEBARAN

Genta takbir mengudara dari menara masjid.
Tumpah manusia di gang-gang pemukiman kota.
Matahari menyaksikan dari ufuk timur langit:
Bani Adam saling berpeluk penuh bahagia.

/4/
ZIARAH LEBARAN

Di perut kubur, riwayat tak menjadi tilas.
Silsilah darah yang mengucur di nadi kami.
Doa-doa dirapalkan, seiring daun-daun yang melaras.
Semoga engkong dan nenek bahagia, dalam dekapan bumi.

Tj. Priok, 29 Juli 2014

*Puisi-puisi ini saya tulis pada suasana Lebaran dua tahun lalu.

Sabtu, 25 Juni 2016

Perihal Buku Catatan Harian

Ada kalanya engkau membayangkan
buku catatan harianmu yang bersampul biru muda itu adalah langit
dan kau adalah seekor burung yang terbang bebas di keluasannya.
Sambil terus mengepakkan sayap dan  terbang sendirian
kau meneriakkan apa-apa yang selama ini tak sanggup kau ucapkan.

Engkau juga pernah membayangkan
buku catatan harianmu yang bersampul biru muda itu adalah buku gambar
dan kau adalah seorang anak sekolah dasar
yang gemar menggambar pemandangan alam atau Kesatria Baja Hitam
atau impian-impian absurd yang kerap ditertawakan orang.

Saat ini engkau tengah membayangkan
buku catatan harianmu yang bersampul biru muda itu
adalah sebuah museum yang senantiasa lengang.
Kau adalah  satu-satunya penjaga sekaligus pengunjung yang rutin datang,
merawat sekaligus menjenguk benda-benda atau  ingatan-ingatan samar
yang tak pernah ingin kau lupakan.

Tj. Priok, 25 Juni 2016



Sabtu, 18 Juni 2016

Catatan 18 Juni 2016

Hujan yang turun sejak semalam belum juga reda. Tadi, aku sempatkan diri ke balkon untuk melihat suasana di sekitar rumah. Got besar yang ada di sepanjang gang tempat tinggalku permukaan airnya nyaris rata dengan jalan. Kalau hujan terus turun, mungkin beberapa jam lagi akan banjir. Mudah-mudahan saja hujannya lekas berhenti.
Sekarang pukul 06.36 pagi. Aku sedang di kamar menulis tulisan ini sambil mendengarkan album A Head Full of Dreams-nya Coldplay. Tepat saat ini, yang sedang terputar adalah “Everglow”, lagu favoritku di album ini.

***
Sebelum menulis tulisan ini, aku mencoba mencari referensi musik di YouTube. Akhirnya kupilih untuk menonton video live performance-nya Lifehouse membawakan lagu You and Me. Aku kepingin lihat bagaimana mereka bermain live dengan format band mereka yang minimalis.
Ternyata asyik juga melihat live performance mereka. Seperti dalam versi rekamannya, Jason Wade membuka lagunya dengan permainan rhythm gitar akustik yang  manis, kemudian mulai menyanyi dari verse hingga chorus. Seusai chorus pertama, barulah gitar elektrik, drum, dan bass masuk. Aku suka dengan pengisian gitarnya, begitu juga dengan cara pengemasan lagunya yang simple. Manis, tapi tidak kemanisan. Pas.
Secara keseluruhan, menurutku lagu ini adalah salah satu contoh lagu pop yang patut untuk ditiru.

***
Beberapa waktu belakangan ini, aku lebih sering mendengarkan band-band british pop seperti Coldplay, Keane, Oasis, The Killers. Terutama Coldplay. Karena itulah waktu aku mendengar mereka merilis album baru, aku langsung mencari albumnya. Dari sebelas track yang ada di album baru mereka ini, aku paling suka “Amazing Day” dan “Everglow”. Menurutku dua lagu ini berhasil melanjutkan tipe-tipe lagu adem ala Coldplay seperti “Fix You” di album X & Y atau lagu “O” di album Ghost Stories. Dari semua lagu Coldplay, “Fix You” dan “O” adalah lagu favoritku. Nanti, akan kuceritakan padamu alasan yang melatarbelakangiku mengapa menyukai salah satu dari dua lagu tersebut.
Sekarang, lagu yang sedang terputar dari laptopku adalah “Army One”, track nomor delapan di album A Head Full of Dreams. Di luar, hujan belum juga reda. Sementara itu aku sudahi tulisanku ini dulu, ya. Aku mau lanjut mendengarkan lagu-lagu Coldplay di album ini.
Sampai jumpa! Selamat berakhir pekan!




Sabtu, 11 Juni 2016

Malam Menghamparkan Dirinya yang Sunyi

Malam menghamparkan dirinya yang sunyi
di pangkal musim: bulan yang terberkati.
Langit tenteram mengatapi bumi,
diheningkan bait-bait suci
dan kerinduan yang bersemayam abadi
di jantung syair-syair Rumi.
Angin bergerak perlahan menabur segala puji,
doa-doa yang diucapkan oleh para penyepi.
Semesta pun tepekur di keheningan ini,
mengalunkan bahasa yang paling sunyi.

Tj. Priok, 9 Juni 2016

(Dimas Albiyan)

Kamis, 09 Juni 2016

Lagu Musim Sunyi

Musim yang sunyi.
Langit tenteram di dini hari.
Kau berkata, “tiba waktunya untuk kembali,”
entah kepada siapa.
Fajar jauh. Cahaya jauh.
Angin Juni melintas di beranda.
Dan kau masih terjaga,
menafsirkan impian dan keresahan manusia
di antara keheningan kata-kata.

Tj. Priok, 7 Juni 2016

(Dimas Albiyan)

Rabu, 11 Mei 2016

Melintasi Subuh di Pasar Waru


Melintasi pasar ini di kala subuh, membuatku teringat akan masa kecilku bersama dengan teman-temanku. Dulu, saat masih menginjak sekolah dasar, kami gemar berjalan kaki bersama mengitari blok tempat tinggal kami setiap Minggu subuh. Jumlah kami sekitar lima sampai tujuh orang waktu itu. Akan kuceritakan nanti kepadamu perihal teman-teman masa kecilku itu.
"Ritual" berjalan kaki kami dimulai dari Gang 4, gang di mana rumah kami berada. Sebuah gang sempit dengan lebar dua meter. Ada got besar yang menyerupai kali kecil di sepanjang sisinya. Aliran air got ini mengalir ke arah Kali Kresek yang nantinya akan bermuara di Teluk Jakarta. Dari gang ini, kami berjalan ke arah timur. Menyusuri gang padat penduduk yang di kala subuh sudah mulai ramai dengan berbagai aktivitas warganya. Tiba di mulut gang, kami berbelok ke arah kiri menyusuri Jalan Kramat Jaya. Melewati toko-toko yang belum dibuka, patung Diponegoro yang dengan gagah sedang menunggang kuda di atas gapura Gang 2, jalan yang masih nampak lengang dan lega. Kami berjalan sekitar 100 meter di jalan ini. Kemudian kembali berbelok ke kiri menyusuri Jalan Raya Cilincing. Jalan ini adalah akses utama menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Kecuali hari libur, jalan ini selalu dipadati oleh truk-truk besar yang hendak masuk atau keluar pelabuhan. Pada jam berangkat atau pulang kerja, sudah bisa dipastikan jalan ini akan macet. Akan tetapi, hal itu tidak akan terjadi pada Minggu subuh. Hanya ada beberapa truk saja yang terlihat. Jadi, setiap menyusuri jalan ini, pemandangan yang kami lihat adalah sebuah jalan raya dengan truk-truk besar yang sesekali melintas.
Sekitar 10 menit menyusuri Jalan Raya Cilincing, kami tiba di Pasar Waru. Pasar sudah ramai. Kami berjalan di antara orang-orang yang tengah berbelanja. Melewati kios-kios sayuran, buah-buahan, daging, barang pecah-belah, dan lainnya. Di pasar ini, terkadang kami singgah sebentar untuk membeli jajanan kue yang penjualnya adalah orang Madura. Ada kue apem, bakpau isi kacang ijo, cucur, donat gula, gemblong, onde-onde, dan roti goreng isi kelapa. Waktu itu dengan uang lima ratus rupiah kami bisa mendapatkan dua potong kue.
Setelah membeli kue, kami kembali berjalan sampai tiba di Gang 4. Di pinggir gang, di depan rumah salah seorang temanku, kami memakan kue yang sudah kami beli itu bersama-sama. Setelah kenyang kami pun bermain. Bermain gundu jika sedang musim gundu, bermain gambaran jika sedang musim gambaran, atau bermain bola saat sedang tidak ada musim apa-apa.

***

11 Mei 2016. Hari ini hari Rabu. Subuh tadi sewaktu lari pagi, aku melintasi Pasar Waru. Melintasi pasar ini di kala subuh, membuatku teringat akan masa kecilku bersama dengan teman-temanku. Aku sempatkan waktu untuk mampir sebentar membeli jajanan kue seperti yang kami lakukan dulu. Penjualnya masih orang Madura yang sama. Jenis-jenis kue yang dijualnya pun masih sama.  Jika ada yang berbeda, maka hal itu adalah perihal harganya. Sekarang, dengan uang seribu rupiah, kau hanya bisa mendapatkan satu potong kue saja.
Ya, satu potong kue saja.

Tj. Priok, 11 Mei 2016

            

Senin, 11 Januari 2016

Puisi Saya, Dimuat di Koran IndoPos Edisi Sabtu, 9 Januari 2016

/1/
Lagu Musim Kemarau

Selalu ada yang kian muram dan senyap
di ujung musim kemarau yang lelap.
Hari-hari pun meranggas dalam dekapan cuaca.
Bertiup angin musim tenggara.

Kembali daun-daun menjatuhkan diri ke beranda.
Kembali langit mengekalkan bayangmu di luar jendela.
Dahan-dahan patah dengan tubuh yang terkelupas
rebah di tanah memendam rindu yang tak pernah tuntas.

Lihatlah akar pohonan yang tabah menghitung sepi dan luka,
menanti isyarat awan yang tak kunjung tiba.
Lihatlah ada yang senantiasa tugur di antara gugur kata-kata,
diam-diam mendekap namamu di jantung doa.

Tj. Priok, 24 September 2015




/2/
September

Tiba saat musim merebahkan diri
di pangkal September,
bersama kemarau yang tak kunjung pergi,
bersama bayangmu yang sayup dan sepi.

Langit yang lengang telah tergelar sempurna.
Impian yang asing telah meruap ke puncak cuaca.
Di bentangan rindu, namamu menggema sebagai doa,
bait-bait rahasia yang kutanam di rahim kata.

Lihatlah musim yang membisu indah di ambang senja.
Nyanyi sunyi yang merambat pada warna pepohon tua.
Ke ceruk angkasa, kukembalikan seikat kisah dan luka.
Meniti kembali nasib hingga dekapan takdir tiba.

Tj. Priok, 14 September 2015.


/3/
Sepasang Mata yang Temaram

Di lengkung hari terbenam
rindu adalah sepasang mata yang temaram.
Laut-laut tua di kejauhan
melambai mengundang beribu kesepian.

Segera maghrib menjelma bayang-bayang,
Melintas kawanan burung beranjak pulang.
Lantas ke manakah aku harus pulang
selepas terhempas di rembang gelombang?

Jauh di bentang utara impian-impian berlayar.
Resah yang ganjil merusuh di debar lautan.
Tak kutahu akhir dari perjalanan yang samar.
Hanya doa, tempat segala rahasia kuserahkan.


Tj. Priok, 11 Februari-25 Desember 2015 

Puisi Saya, Dimuat di Koran IndoPos Edisi Sabtu, 9 Januari 2016

/1/
Lagu Musim Kemarau

Selalu ada yang kian muram dan senyap
di ujung musim kemarau yang lelap.
Hari-hari pun meranggas dalam dekapan cuaca.
Bertiup angin musim tenggara.

Kembali daun-daun menjatuhkan diri ke beranda.
Kembali langit mengekalkan bayangmu di luar jendela.
Dahan-dahan patah dengan tubuh yang terkelupas
rebah di tanah memendam rindu yang tak pernah tuntas.

Lihatlah akar pohonan yang tabah menghitung sepi dan luka,
menanti isyarat awan yang tak kunjung tiba.
Lihatlah ada yang senantiasa tugur di antara gugur kata-kata,
diam-diam mendekap namamu di jantung doa.

Tj. Priok, 24 September 2015




/2/
September

Tiba saat musim merebahkan diri
di pangkal September,
bersama kemarau yang tak kunjung pergi,
bersama bayangmu yang sayup dan sepi.

Langit yang lengang telah tergelar sempurna.
Impian yang asing telah meruap ke puncak cuaca.
Di bentangan rindu, namamu menggema sebagai doa,
bait-bait rahasia yang kutanam di rahim kata.

Lihatlah musim yang membisu indah di ambang senja.
Nyanyi sunyi yang merambat pada warna pepohon tua.
Ke ceruk angkasa, kukembalikan seikat kisah dan luka.
Meniti kembali nasib hingga dekapan takdir tiba.

Tj. Priok, 14 September 2015.


/3/
Sepasang Mata yang Temaram

Di lengkung hari terbenam
rindu adalah sepasang mata yang temaram.
Laut-laut tua di kejauhan
melambai mengundang beribu kesepian.

Segera maghrib menjelma bayang-bayang,
Melintas kawanan burung beranjak pulang.
Lantas ke manakah aku harus pulang
selepas terhempas di rembang gelombang?

Jauh di bentang utara impian-impian berlayar.
Resah yang ganjil merusuh di debar lautan.
Tak kutahu akhir dari perjalanan yang samar.
Hanya doa, tempat segala rahasia kuserahkan.


Tj. Priok, 11 Februari-25 Desember 2015